"Melalui Tulisan, Mengikat Ilmu dan Membangun Pertumbuhan Pribadi."

Najasyi (Ashomah bin Abjar) (Sholat Ghaib Pertama)


 Beliau bisa dikatakan tabi’in, namun boleh pula dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah saw. berlangsung melalui surat menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi saw. melakukan shalat ghaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.

Dialah Ashamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan An-Najasyi. Marilah pada kesempatan yang barakah ini sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.

Ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah dan tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi tahta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik kita bunuh sang raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki dua belas putra yang membelanya masa hidup dan menjadi pewarisnya jika meninggal.”

Dengan gencar setan membisiki dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh rajahnya dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.

Kini Ashamah diasuh oleh pamannya. Tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan lebih daripada anak-anaknya sendiri.

Namun setan kembali memprovokasi para pembesar Habsyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”

Akhirnya mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa tentram dan aman bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”

Mendengar permintaan tersebut raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya.”

Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.

Tak lama setelah diusirnya Ashamah tiba-tiba terjadi peristiwa yang diluar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa sang raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian dia wafat.

Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra raja, namun ternyata tak ada seorang pun dari mereka yang layak menduduki tahta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, lebih-lebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga telah menunggu kesempatan untuk menyerang. Kemudian ada salah seorang di antara mereka berkata, “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu, jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, maka carilah dia dan pulangkanlah dia.”

Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebaga raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezhaliman dan kejahatan.

Saat bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki tahta di Habasyah, di tempat lain Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad saw. untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu persatu assabiqunal awwalun memeluk agama ini.

Orang-orang quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Makkah sudah merasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin quraisy, Rasulullah saw. bersabda, “Di negeri Habasyah bertahta seorang raja yang tidak suka berlaku zhalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam istananya sampai Allah membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”

Maka berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah sekitar 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.

Akan tetapi pihak quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Makkah.

Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Makkah.

Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah pesatuan kami. Maka nanti jika kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”

Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habasyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya telah kenal dengan Amru bin Ash. Kemudian tokoh quraisy itu membeirkan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka quraisy yang dimpimpin oleh Abu Sufyan.

Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.

Najasyi meoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berakta, “Benar tuanku, kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.” Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan menyerahkan mereka kepada kalian. Tetapi kalau mereka dalam kebenaran, maka aku akan melindungi dan memilihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini karena ulah orang-orang keji.”

Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita jika ditanya tentang agama kita?”

Yang lain menjawab, “Kita katakan saja apa yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan apa-apa yang diajarkan Rasulullah saw. dan Rabb-nya.”

Berangkatlah mereka menuju istana, di sana mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.

Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada raja?” mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah.”

Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memperhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”

Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tetapi Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju terang benderang. Pada awalnya kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zhalim, tidak menyayangi tetangga dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujuran, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, membayar zakat, shiyam pada bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Belialu memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan apa yang beliau bawa.

Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, mengharamkan apa-apa yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan. Tetapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah. Karena mereka berlaku zhalim dan menghalangi kami menjalankan agama, kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim di sini.”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi tentang itu tentang Rabb-nya?” beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami.”

Lalu Ja’far membacakan surat Maryam:

“Dan Ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia Mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa”. Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”. Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”. Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu,” (Maryam: 16-24).

Tampaklah Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kita mereka basah oleh tetesan air mata.

Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepda kami dan apa yang dibawa oleh Isa berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangikit dari singgasananya dan pertemuan itu pun dibubarkan.

Maka keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya, “Demi Allah, aku akan menghadap Najasyi lagi esok. Akan aku katakan sesuatu yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia menghabisi mereka.” Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya berusaha mencegah, “Janganlah engkau melakukannya wahai Amru! Bagaimana pun mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham dengan kita.”

Namun amru berkata, “Demi Allah, aku akan katakan bahwa mereka telah menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa hanyalah seorang hamba.”

Sesuai yang direncanakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata, “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan tentang sesuatu tetapi menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah hamba.”

Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw.” Najasyi berkata, “Bagaimana kata-katanya?” Ja’far menjawab, “Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan Kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”

Najasyi berkata, “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa seujung rambutpun.” Terdengar bisikan uskup-uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas, “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan.” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barangsiap berani mengganggu kalian akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorang pun di antara kalian.”

Beliau perintahkan kepada pengawalnya, “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu. Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku, untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”

Negeri Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama rakyat Habasyah digoncangkan oleh dilema besar tersebut. Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.

Melihat hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin, “Naiklah kalian ke kapal itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Tapi kalau aku menang, kalian boleh kambali dalam perlindungan seperti semula.”

Selanjutnya Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Dan aku bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian perangnya dan pergi bersama prajuritnya.

Berdirilah Najasyi menghadapi para penentangnya. Dia berkata, “Wahai rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku kepada kalian?” mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?”

Mereka berkata, “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata, “Bagaimana menurut kalian sendiri?” Mereka menjawab, “Dia adalah putra Allah.”

Maka Najasyi mengeluarkan tulisan yang diapakainya di dada, diletakkan di atas meja dan berkata, “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.

Rasulullah semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam perlindungannya, menggembirakan Nabi saw. apalagi setelah mendengar kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Al-Qur’an. Hubungan Najasyi dengan Rasulullah saw. semakin erat.

Memasuki tahun baru 7 Hijriyah, Rasulullah berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman, dan menasihatkan akan bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat. Terlebih dulu mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah siap, keenam sahabat itu berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.

Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.

Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah saw. kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Al-Qur’an. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat. Setelah itu dia turun dari snggasana dan menyatakan keislamannya di hadapan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad saw. nisacaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian beliau menulis surat jawaban kepada Rasulullah saw. berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas nubuwatnya.

Selanjutnya Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi saw. yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah saw. meminta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.

Sedangkan Ramlah yang biasa dipanggil Ummu Habibahitu, memiliki liku-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak pejalanannya.

Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepecayaan ayahnya sang pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah dan rasul-Nya bersama suaminya Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu pasangan suami istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang quraisy.

Keduanya ikut dalam rombongan muhajirin yang berlindung kepada Njasyi di Habasyah demi mempertahankan Dienullah. Seperti yang telah disampaikan, para muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi, sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan takdir untuknya.

Allah berkendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu menggoncangkan akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.

Di hadapan Ummu Habibah ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang demikian akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya yang masih hidup dalam kemusyrikan. Dan ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.

Akhirnya beliau mengutamakan ridha Allah di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama muhajirin lainnya sampai Allah menunjukkan jalan keluar.

Tak berselang lama beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddahnya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.

Pagi itu amat cerah, saat terdengar ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah saw. telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera siapa yang Anda tunjuk sebagai wali.”

Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berakta kepada utusannya tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah,” kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”

Begitulah, hari itu istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah saw. setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan salam dan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah saw. untuk menikah dengan Ramlah binti Abi Sufyan. Dan saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunnah Rasul-Nya.”

Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah saw dan saya nikahkan Ramlah binti Abi Sufyan yang memberi saya wakalah dengan Rasulullah. Semoga Allah memberkahi rasul dan istrinya.” Selamat atas Ramlah dengan anugerah yang agung tersebut.

Kemudian Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya. Habibah beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habsyi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Rasulullah saw dan shalat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.

Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah saw, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah saw. tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam shalat-sahalt I’ed dan shalat istisqa’. Pada masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal adalah yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya setiap pergantian khalifah.

Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi saw. menerima tetai tidak dipakai sendiri melainkan diberika kepada Umamah, cuci dari putri beliau, Zaenab, “Pakailah ini wahai cucuku.”

Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah saw. memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal Rasul belum pernah shalat ghaib sebelum wafatnya dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya. Sungguh dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah Ta’ala.” Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 348-364.

Salim bin Abdillah bin Umar bin Khattab (Cucu Umar bin Khattab)


Kita memasuki zaman khilafah Al-Faruq Umar bin Khathab. Saat di mana kota Madinah melimpah ruah dengan hasil ghanimah yang didapatkan kaum muslimin dari harta kaisar Persia terkahir, Yazdajrud. Ada mahkota-mahkota yang bertabur permata, selendang yang tersusun dari mutiara, juga pedang-pedang emas yang bertahtatakan permata dan marjan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Selain barang-barang berharga tersebut, ada pula serombongan tawanan yang amat banyak. Di antara yang menjadi tawanan tersebut adalah tiga putri sang kaisar. Atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, harga ketika putri itu dipasang setinggi mungkin, lalu mereka dibei kebebasan memilih di antara pemuda Islam yang akan menebusnya.

Putri pertama memilih Muhammad bin Abi Bakar yang kemudian melahirkan seorang tokoh faqih Madinah, Al-Qasim bin Muhammad. Putri kedua memilih Abdullah bin Umar bin Khathab yang melahirkan putra bernama Salim yang sangat mirip dengan kakeknya Umar bin Khathab. Sedangkan putri yang ketiga memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib yang akhirnya melahirkan Zainul Abidin.

Nah sekarang kita akan menelusuri indahnya perjalanan hidup Salim bin Abdullah bin Umar, ayahnya dan juga kakeknya.

Salim lahir di Madinah Al-Munawarah, kota yang terdapat di dalamnya makam Rasulullah saw, kota tujuan hijrah yang udaranya penuh keharuman nubuwat, tempat turunnya wahyu-wahyu Allah.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang zuhud, shawwam qawwam (ahli shiyam dan ahli shalat malam), yang memiliki tabiat dan akhlak Umar. Sejak awal sang ayah sudah melihat tanda-tanda ketaqwaan dan hidayah Allah pada diri Salim. Tercermin pada akhlak Islami yang kokoh di atas Al-Quran melebihi saudara-saudaranya yang lain. Tak heran jika ayahnya menyayangi beliau dengan tulus, hingga anak yang lain cemburu kepadanya. Abdullah menanggapi sikap mereka dengan syairnya:

Mereka cemburu atas perlakuanku terhadap Salim

Memang benar, kulit antara mata dan hidugku adalah Salim

Dada Salim dipenuhi dengan hadits-hadits Rasulullah saw., mendalami tentang dienullah, diajari tentang tafsir dan selanjutnya dibina di tanah suci yang mulia.


Saat itu, masjid Nabawi masih padat dengan hadirnya para sahabat. Tatkala pemuda ini masuk, dijumpainya setiap sudut masjid penuh dengan tokoh sahabat yang sudah kenyang dengan ajaran dan keharuman kata-kata Rasulullah saw. kemana saja dia melayangkan pandanga dan memasang telinga, yang ada hanyalah kebaikan.

Beruntung sekali Salim mampu memanfaatkan peluang ini. Beliau menghirup ilmu sebanyak mungkin dari tokoh-tokoh sahabat itu, di antaranya Abu Yusuf Al-Anshari, Abu Hurairah, Abu Rafi, Abu Lubadah, Zaid bin Khathab, di samping ayah handanya sendiri, Abdullah bin Umar. Wajar bila dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah dikukuhkan sebagai seorang alim, tokoh tabiin dan salah satu ahli fikih yang menjadi tempat bertanya bagi kaum muslimin di Madinah tentang agama dan syariat, tentang probem agama dan persoalan dunia.

Lebih dari itu, kerap kali para pejabat meminta saran dan pendapat beliau ketika menghadapi masalah. Mereka terkesan dan sangat simpati kepada Salim bin Abdullah. Beliau menjadi andalan karena kehalusan budi bahasa dan manisnya tutur kata. Jika para wali dan para amir itu menentang pandangannya, jangan harap rakyat Madinah mematuhi mereka.

Sebagai contoh apa yang dialami Abdurrahman bin Dhahhak selaku walikota Madinah pada masa khilafah Yazid bin Abdul Malik. Pada masa ini Fathimah binti Husain bin Ali sudah menjada dengan beberapa putra. Ibnu Dhahhak datang meminangnya, tetapi Fathimah menolaknya dengan halus, Maaf, saya sudah tak berhasrat lagi untuk menikah. Hidup saya sudah saya wakafkan untuk memelihara putra-putra saya.

Namun Ibnu Dhahhak tetap bersikeras. Dia terus mendesak, sementara Fathimah menolak disertai rasa takut. Ibnu Dhahhak berkata mengancam, Demi Allah, jika engkau tidak mau menjadi istriku, aku akan menahan putra sulungmu dengan tuduhan telah meminum khamr.

Fathimah bin Husain mengadukan masalah itu kepada Salim bin Abdullah. Salim menyarankan beliau agar menulis surat pengaduan kepada amirul mukminin tentang gubernurnya yang sewenang-wenang. Agar masalah itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Fathimah mengikuti saran itu dan segera mengutus seseorang menuju Damaskus.

Sebelum utusan itu berangkat, kebetulan pada saat yang sama, Amirul Mukminin memberi perintah agar Ibnu Hamuz, bendahara Madinah, segera datang ke Damaskus untuk membawa laporan-laporan keuangan. Ibnu Hamuz segera mempersiapkan laporan-laporan yang diperlukan, kemudian singgah sejenak untuk berpamitan kepada Fathimah binti Husain. Saya hendak pergi ke Damaskus, apakah Anda titip sesuatu?


Fathimah berkata, Benar, tolong laporkan kepada amirul mukmini kesulitan yang saya alami akibat ulah walinya, Ibnu Dhahhak. Katakan pula bagaimana dia mengabaikan para ulama, terutama Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab.

Ibnu Hurmuz menyesal karena mampir di rumah Fathimah, sebab sesungguhnya dia tidak mau mengadukan Ibnu Dhahhak kepada khalifah di Damaskus.

Tibalah Ibnu Hurmuz di Damaskus bersamaan dengan hari datangnya utusan yang membawa surat pengaduan Fatimah binti Husain. Dalam pertemuan dengan khalifah, Ibnu Hurmuz ditanya tentang kondisi Madinah, juga tentang Salim bin Abdillah dan para fuqaha lainnya. Yazin bin Abdul Malik bertanya, Adakah hal-hal penting yang perlu Anda sampaikan atau berita-berita yang perlu dibahas?Ibnu Hurmuz sama sekali tidak menyebutkan kisah Fathimah binti Husain. Mulutnya terkunci rapat tentang sikap walinya kepada Salim bin Abdullah.

Selagi ia masih menjelaskan tentang laporan keuangan yang diminta, penjaga masuk untuk melaporkan bahwa utusan Fathimah binti Husain minta izin untuk menghadap. Pucatlah wajah Ibnu Hurmuz karena khawatir. Dia segera berkata, Semoga Allah mengarunia Amirul Mukminin umur yang panjang. Memang benar Fathimah binti Husain yang menitip pesan kepada saya lalu dia menceritakan semuanya.

Mendengar penuturan Ibnu Hurmuz, Amirul Mukminin berdiri dari tempat duduknya dan berteriak marah, Celaka! Bukankah aku bertanya kepadamu bagaimana berita Madinah? Pantaskan kejadian sebesar itu engkau sembunyikan dariku? Ibnu Hurmuz segera minta maaf dan mencari dalih.

Kemudian utusan itu masuk dan menyerahkan surat Fathimah binti Husain. Amirul Mukminin langsung membuka dan membacanya. Raut mukanya berangsur memerah. Terlihat tanda kemarahan dalam pandangan matanya. Dia berteriak lantang, Ibnu Dhahhak sudah berani mengganggu keluarga Rasulullah dan tak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah?! Siapa yang bisa memperdengarkan kepadaku jeritan gubernur Adh-Dhahhak sementara dia tersiksa di Madinah sedangkan aku tetap duduk di Damskus?

Di antara hadirin berkata, Wahai amirul mukminin, tak ada yang lain di Madinah kecuali Abdul Wahid bin Bisyr An-Nadhari, angkatlah beliau. Saat ini beliau tinggal di Thaif. Khalifah berkata, Benar..demia Allah dia memang layak untuk tugas ini. Maka khalifah meminta kertas dan menulis surat pengangkatan gubernur.

Dari Amirul Mukminin, Yazin bin Abdul Malik kepada Abdul Wahid bin Bisyr An-Nadhari.

Assalamualaikum

Bersama surat ini saya melantik Anda sebagai gubernur di Madinah. Jika surat ini telah sampai kepada Anda, maka datanglah ke Madinah dan turunkanlah Ibnu Dhahhak dari jabatannya. Perintahkan agar dia membayar denda 40.000 dirham, lalu hukumlah dia hingga aku mendengar teriakannya dari Madinah.

Berangkatlah utusan yang membawa surat tersebut menuju Thaif melewati Madinah. Ketika di Madinah, ia tidak tinggal di tempat Ibnu Dhahhak, bahkan memberi salampun tidak. Gubernur itu menjadi curiga bahkan menjadi khawatir akan dirinya. Lalu dia bertanya tentang sebab-sebab kedatangan utusan tersebut.

Utusan itu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibnu Dhahhak. Lalu Ibnu Dhahhak mengambil sesuatu dari balik balik tidurnya dan berkata, Lihatlah, bungkusan ini berisi seribu dinar emas. Aku bersumpah akan merahasiakan apa yang kau bawa dan kemana arah tujuanmu.

Ibnu Dhahhak bergegas menyiapkan kendaraannya, lalu segera meninggalkan Madinah menuju Damaskus. Setibanya di Damaskus, dia langsung menuju rumah saudara Yazid, Maslamah bin Abdul Malik. Dia adalah seorang yang baik lagi penolong. Ketika telah di hadapannya, Ibnu Dhahhak berkata:

Ibnu Dhahhak, Aku berada di bawah lindunganmu wahai amir.

Maslamah, Semoga baik-baik saja, apa yang terjadi atasmu?

Ibnu Dhahhak, Amirul Mukminin marah kepadaku karena kesalahan yang aku lakukan.

Selanjutnya Maslamah menemui Yazin bin Abdul Malik dan berkata:

Maslamah, Aku ada keperluan penting wahai Amirul Mukminin.

Yazid, Semua keperluan Anda akan aku penuhi kecuali masalah Ibnu Dhahhak.

Maslamah, Demi Allah, aku tidak memiliki keperluan selain itu.

Yazid, Aku tidak bisa mengampuninya.

Maslamah,Sebenarnya, apa kesalahan yang dia lakukan?

Yazid, Dia mengganggu Fathimah binti Husain dan mengancam serta menekannya. Dia juga tidak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah tentang itu. Para penyair, tokoh-tokoh masyarakat, ulama dan penduduk Madinah mengecamnya.

Maslamah, Jika begitu persoalannya maka terserah Anda wahai Amirul Mukminin.

Yazid, Sekarang perintahkan Ibnu Dhahhak kembali ke Madinah. Dia harus menerima hukuman dari gubernur yang baru agar menjadi pelajaran bagi pejabat-pejabat yang lain.

Legalah hati penduduk Madinah, mereka bersyukur atas pengangkatan gubernur yang baru dan gembira dengan pelaksanaan hukuman bagi Ibnu Dhahhak. Mereka puas lantaran gubernur yang baru ternyata senantiasa berlaku baik kepada rakyat dan tidak mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan melainkan setelah meminta persetujuan para ulama seperti Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah.

Alangkah mulianya khalifah muslimah Yazid bin Abdul Malik yang telah memperjuangkan kaum muslimin dan mendidik pejabat-pejabat yang tangguh demi kejayaan Islam. Kita akan bertemu lagi bersama Salim bin Abdillah pada bab berikutnya.

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Rafat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabiin, atau Mereka Adalah Para Tabiin, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 308-318. Alislamu.com

Kisah Tabi'in "Abu Muslim Al-Khaulani" (Abdullah bin Tsuwab)


Tersebar berita di seluruh Jazirah Arab bahwa Rasulullah saw. sakit sepulang dari haji Wada’. Setanpun memprovokasi Al-Aswad Al-Ansi agar kembali kepada kekafiran setelah keimanannya. Dan agar dia berkata tentang Allah dengan dusta. Dia mengaku kepada kaumnya sebagai nabi yang diutus oleh Allah.


Dia adalah manusia yang kuat jasadnya, besar ambisinya, keras jiwanya dan akrab dengan kejahatannya. Dia juga ahli dalam hal ikhwal perdukunan jahiliyah, gemar menggunakan sihir untuk mencelakakan orang. Di samping dia juga fasih lisannya, bagus argumentasinya, cerdas otaknya, pandai menyesatkan orang dengan kebatilannya. Dia mencari pendukung dengan cara membagi-bagikan hadiah dan pemberian. Ketika tampil di muka umum dia selalu mengenakan topeng hitam agar terkesan angker dan terasa kuat kehebatannya.

Dengan cepat dakwah Al-Aswad Al-Ansi menyebar di penjuru Yaman bagaikan api yang membakar ilalang. Dia dibantu oleh kabilah Bani Madhaj, kelompok terbesar di Yaman dari segi jumlah dan kekuasaannya. Masih pula didukung oleh kemampuan untuk rekayasa cerita dusta, kepalsuan serta memperalat para pengikutnya yang pandai untuk menguatkan siasatnya.

Dia mengaku bahwa malaikat turun dari langit untuk membawakan wahyu dan memberitahukan hal-hal ghaib kepadanya, lalu dia membuat berbagai rekayasa agar orang-orang percaya dengan pengakuannya.

Dia menaruh mata-mata di berbagai tempat untuk mendengarkan masalah-masalah yang dikeluhkan masyarakat, menguak rahasia-rahasia mereka, serta memancing cita-cita dan harapan yang tersimpan di benak mereka. Pada saat yang sama dia mengusahakan agar orang-orang minta tolong kepadanya.

Ketika orang-orang datang, dia melayani mereka dengan baik, memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengatasi segala kesulitan mereka. Dia tunjukkan seoalah-olah dia mengetahui segala rahasia yang tersimpan dalam hati mereka. Dipamerkannya hal-hal ajaib dan menakjubkan sehingga mampu menyihir akal dan membingungkan pikiran mereka.

Dalam waktu singkat namanya menjadi besar, kehebatannya makin tersohor, pengikutnya makin banyak. Shan’a kini berada di bawah kendalinya, dari sini terus menyebar ke tempat lain sampai meliputi seluruh Yaman, antara Hadramaut, Tha’if, Bahrein serta Aden.

Ketika telah merasa besar kekuatannya, dan banyak pula negeri dan kekuasaannya, dia beraksi memburu orang-orang yang menentangnya, orang-orang yang dikaruniai iman kepada Allah secara tulus dan beragama lurus.

Terhadap orang-orang tersebut Al-Aswad Al-Ansi berlaku bengis, bahkan tak segan-segan melakukan penyiksaan secara sadis. Di antara para penentang tersebut, terdapat seorang tokoh bernama Abdullah bin Tsuwab yang dikenal dengan julukan Abu Muslim AL-Khaulani.

Abu Muslim Al-Khaulani adalah seorang yang kokoh keimanannya, pantang kompromi dengan kebatilan dan senantiasa menyerukan kebenaran. Dia mengikhlaskan hidupnya untuk Allah semata. Dia mejauhi kesenangan dunia dan perhiasannya, bernadzar bahwa hidupnya akan digunakan untuk mentaati Allah serta mendakwahkan agamanya. Dijualnya murah-murah kenikmatan sementara di dunia untuk ditukar dengan kenikmatan abadi. Tak heran bila orang-orang menyambutnya dengan baik. Memandangnya sebagai orang yang suci jiwanya dan mustajab do’anya di sisi Rabb-nya.

Al-Aswa Al-Ansi sudah gatal untuk menangkat Abu Muslim lalu menghukumnya sekeras mungkin. Agar orang lain yang akan menentangnya gentar dan dapat ditundukkan.

Maka, dia perintahkan prajuritnya mengumpulkan kayu bakar di lapangan Shan’a, lalu disulut dengan api. Orang-orang dipanggil untuk menyaksikan bagaimana seorang ahli fikih di Yaman dan ahli ibadahnya Abu Muslim Al-Khaulani hendak bertaubat kepada Aswad dan mengimani kenabiannya.

Sampailah waktu yang telah direncanakan, Al-Aswan Al-Ansi memasuki lapangan yang telah dipadati manusia. Dia berjalan dengan kawalan ketat, kemudian duduk di atas kursi kebesaran di depan api yang menyala-nyala.

Sejurus kemudian, Abu Muslim Al-Khaulani diseret ke tengah arena. Pendusta yang kejam itu memandang Abu Muslim dengan congkak, lalu bepaling ke arah api yang berkobar menjilat-jilat seraya bertanya,

Aswad, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?”

Abu Muslim, “Benar, aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dialah sayyidul mursalin dan penutup para nabi.”

Dahi Al-Aswa Al-Ansi berkerut. Kedua alisnya bertaut pertanda marah.

Al-Aswad, “Apakah engkau bersaksi bawha aku adalah utusan Allah?”

Abu Muslim, “Telingaku tersumbat, tidak bisa mendengarkan kata-katamu.”

Al-Aswad, “Kalu begitu, aku akan mencampakkanmu ke dalam api itu.”

Abu Muslim, “Jika engkau membakar aku dengan api dari kayu, engkau akan dibalas denga api yang bahan bakarnya manusia dan batu-batu, di bawah penjagaan malaikat-malaikat yang perkasa, yang tidak menentang Allah dan senantiasa mematuhi perintah yang diberikan kepada mereka.”

Al-Aswad, “Aku tidak tergesa-gesa, aku beri engkau kesempatan untuk menggunakan otakmu. Apakah engkau tetap mengakui bahwa Muhammad adalah rasul Allah?”

Abu Muslim, “Benar, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Allah mengutusnya dengan membawa agama dan putunjuk yang benar. Allah pun menutup seluruh risalah-Nya dengan risalah yang dibawa oleh Muhammad.”

Al-Aswad Al-Ansi meninggikan nada suaranya.

Al-Aswad, “Sudah aku katakan kepadamu, bahwa telingaku tersumbat sehingga tak bisa mendengar kata-katamu itu.”

Semakin naik pitamlah Al-Aswad Al-Ansi mendengar ketegasan jawaban, ketenangan dan ketegarannya. Dia hendak memerintahkan agar Abu Muslim Al-Khaulani dicampakkan ke dalam api, tapi tangan kananya berusaha mencegahnya seraya berbisik di telinganya, “Anda tahu bahwa orang ini berjiwa suci dan do’anya mustajab, sementara Allah tak membiarkan hamba-Nya beriman di saat-saat kritis. Bila Anda lemparkan dia ke dalam api lalu ternyata Allah menyelamatkannya, maka semua yang kau bina dengan susah payah ini akan hancur dengan sekejap, karena orang-orang akan mengingkari kenabianmu seketika itu juga. Bila engkau membakarnya dan dia mati, orang-orang akan mengaguminya, bahkan akan menyanjungnya sebagai syuhada’. Oleh karen itu, lebih baik Anda melepaskan dia, asingkan saja dia dari negeri ini. Hindarilah dia, engkau akan menjadi lebih tenang dan santai.”

Nabi palsu itu menerima saran tersebut. Dia membebaskan Abu Muslim lalu mengusirnya ke luar Yaman.

Berangkatlah Abu Muslim Al-Khaulani menuju Madinah dan sangat berharap dapat menjumpai Rasulullah. Beliau sudah beriman sebelum bertemu Nabi saw. dan rindu untuk mendampingi beliau sebagai sahabat.

Tapi sayang, belum lagi memasuki Madinah, beliau mendengar kabar bahwa Rasulullah saw. telah wafat dan Abu Bakar Ash-Shiddiq terpilih menjadi khalifah kaum muslimin. Tak terkira, betapa kecewa beliau mendengarnya.

Setibanya di Madinah, beliau langsung menuju masjid Nabawi. Beliau menambatkan ontanya di samping masjid, kemudian memasuki masjid Nabawi setelah mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi saw.

Beliau mendekati salah satu tiang masjid lalu shalat di sana. Usai shalat, Umar bin Khathab menghampirinya seraya bertanya,

Umar, “Dari manakah Anda?”

Abu Muslim, “Saya dari Yaman.”

Umar, “Bagaimana kabar saudara kita yang hendak dibakar hidup-hidup oleh musuh Allah lalu Allah menyelamatkannya itu?”

Abu Muslim, “Alhamdulillah, dia dalam keadaan baik.”

Umar, “Demi Allah, bukankah Anda orangnya?”

Abu Muslim, “Benar.”

Maka umar bin Khathab menciup antara kedua mata Abu Muslim.

Umar, “Tidakkah Anda mendengar berita tentang apa yang dilakukan Allah kepada musuh Allah dan musuh Anda itu?”

Abu Muslim, “Tidak. Sejak meninggalkan Yaman, saya tak lagi mendengar beritanya.”

Umar, “Allah telah membunuh Al-Ansi melalui tangan orang-orang beriman yang ada di sana dan mengakhir kekuasaannya serta mengembalikan para pengikutnya ke jalan Allah.”

Abu Muslim, “Segala puji bagi Allah yang belum mematikan saya sampai saya mendengar tewasnya penjahat itu dan kembalinya penduduk Yaman ke pangkuan Islam.”

Umar, “Segala puji bagi Allah yang membeir kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan umat Muhammad yang hendak diperlakukan seperti khalilullah (kesayangan Allah) Ibrahim alaihi salam.”


Setelah itu Umar bin Khathab mengajak Abu Muslim menghadap khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kemudian beliau berbai’at kepada khalifah muslimin itu.


Setibanya Abu Muslim, Abu Bakar mempersilakan beliau duduk di antara dirinya dan Umar. Setelah itu kedua sahabat utama tersebut berbincang-bincang dan mendengarkan kisah Abu Muslim mengenai Al-Aswad Al-Ansi.


Cukup lama Abu Muslim Al-Khaulani tinggal di Madinah. Dengan tekun dia datang ke masjid Nabawi, shalat di Raudhah suci dan belajar kepada para tokoh sahabat seperti Abu Ubaidah bin Jarroh, Abu Dzar Al-Ghifari, Ubaidah bin Shamit, Muadz bin Jabal dan Auf bin Malik Al-Asyja’. Sesudah itu beliau menuju Syam dan menetap di sana. Beliau memilih tinggal di perbatasan agar bisa bergabung dengan kaum muslimin memerangi Romawi dan meraih pahal mujahid fi sabilillah.


Tatkala khilafah dipegang oleh Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Muslim sering menghadiri mejlisnya. Banyak peristiwa masyhur yang menunjukkan keagungan orang ini serta derajat serta adab yang diterapkan oleh mereka.


Pernah Abu Muslim mendatangi Mu’awiyah yang sedang duduk di pertemuan. Beliau dikelilingi oleh para pejabat, panglima perang dan tokoh-tokoh kaum. Beliau melihat betapa orang menghormati dan menyanjung Mu’awiyah secara berlebihan. Beliau khawatir hal itu akan merusakan keimanan Amirul Mukminin, sehingga didahuluinya memberi salam, “Assalamu’alaka ya ajiral (pelayan) mukminin.” Spontan orang-orang menegurnya, “Katakanlah, ‘Amirul Mukminin (pemimpin) mukminin’.”


Beliau tak mempedulikan tanggapan mereka dan bahkan mengulangi salamnya, “Assalamu’alaikum ya ajiral mukminin.” Orang-orang berkata, “Amirul Mukminin, wahai Abu Muslim.” Beliau tetap pada pendiriannya berkata, “Assalamu’alaikum ya ajiral mukminin.”


Tatkala orang-orang mulai mengecamnya, beliau berkata, “Anda adalah orang yang diangkat oleh Allah sebagai pejabat bagi umat, seandainya orang-orang yang disewa untuk mengurus ternak-ternaknya. Dia akan diberi upah besar, jika mengurus peternakan itu dengan baik dan rajin merawat sehingga yang kecil menjadi besar, yang kurus menjadi gemuk dan yang sakit menjadi sehat. Tetapi jika teledor, tidak mengurusnya dengan baik, sehingga ternak-ternak itu kurus kering lalu mati, susut hasil bulu dan suusnya, maka dia tak akan diberi upah, bahkan akan menerima murka dan hukuman. Oleh karena itu Anda, wahai Mu’awiyah, boleh memilih mana yang baik bagi Anda dan upah mana yang Anda kehendaki.”


Khalifah tertunduk mendengarkan kemudian mengangkat kepala seraya berkata, “Semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik atas perhatian Anda kepada kami dan juga rakyat. Kami mengenal Anda yang selalu memberikan nasihat karena Allah dan rasul-Nya dan bagi kebaikan kaum muslimin.”


Kasus lain, ketika Abu Muslim menghadiri shalat Jum’at di Damaskus. Amirul Mukminin, Mu’awiyah menyampaikan khutbah berisi himbauan agar masyarakat membersihkan dan mengeruk sungai Barada agar airnya bersih.


Ketika beliau tengah berkhutbah, dari tengah-tengah jama’ah Abu Muslim angkat suara, “Wahai Muawiyah sadarkan Anda bahwa hari ini atau esok engkau akan mati dan berumah di lahat? Bila Anda membawa bekal, maka itulah yang diperintahkan bagi Anda. Bila Anda datang dengan tangan kosong maka akan Anda dapati tempat Anda tempat lahat yang datar saja. Saya mengharapkan wahai Mu’awiyah jangan sampai Anda menyangka bahwa kekuasaan hanyalah sekedar seperti perintah menggali sungai dan mengumpulkan harta. Khilafah menuntut adanya amalan yang benar dan tindakan adil yang menyeru manusia kepada hal-hal yang diridhai Allah.


Wahai Mu’awiyah, tak perlu Anda mengkhawatirkan keruhnya sungai bila sumbernya bersih. Sesungguhnya Anda alah sumbernya kami, maka berusahalah agar diri Anda bersih. Wahai Mu’awiyah, bila Anda menzhalimi seseorang, maka kezhaliman itu bisa dihapus dengan keadilan Anda. Waspadalah terhadap kezhaliman, sebab dia adalah kegelapan di akhirat.”


Ketika Abu Muslim menyelesaikan kata-katanya, Mu’awiyah turun dari mimbar dan menghampirinya lalu berkata, “Semoga Allah merahmati Anda dan semoga Allah membalas kebaikan Anda.”


Contoh yang lain, ketika Mu’awiyah kembai tampil di mimbar untuk berkhutbah, beliau menunda pembagian harta untuk masyarakat dua bulan kedepan. Abu Muslim menegurnya, “Wahai Mu’wiyah harta ini bukanlah harta Anda atau pun harta ayah ibu Anda. Mengapa Anda menahannya begitu lama dari orang-orang?”


Tanda kemarahan tampak tersirat pada wajah Mu’awiyah. Orang-orang menunggu apa yang hendak dilakukannya. Dia memberi isyarat agar orang-orang tetap di tempat masing-masing, sementara dia sendiri turun dari mimbar, berwudhu kemudian menyiram tubuhnya lalu naik lagi ke mimbar.


Kemudian beliau mengucapkan tahmid dan tasbih dan berkata, “Tadi Abu Muslim mengingatkan bahwa harta ini bukanlah hartaku atau harta ayah bundaku. Sungguh tak ada yang salah pada kata-kata itu. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Marah itu berasal dari setan dan setan berasal dari api, maka apabila salah satu dari kalian marah, hendaklah segera mandi.” Wahai saudara-saudara, pergilah kalian mengambil hak kalian dengan berkah Allah.”


Semoga Allah membalas kebaikan Abu Muslim Al-Khaulani yang mampu menjadi teladan yang baik dalam menyampaikan kebenaran. Semoga Allah melimpahkan rahmat serta ridha-Nya kepada Amirul Mukminin, Mu’awiyah bin Abi Sufyan karena dia memberi teladan kepada para penguasa tentang bagaimana menerima kebenaran dan tunduk kepada kalimat yang benar.


Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 298-308. Alislamu.com

Back To Top