"Melalui Tulisan, Mengikat Ilmu dan Membangun Pertumbuhan Pribadi."

Pemilik Satu Dirham Yang Tertawa


Muhammad bin Thohir Al Maqdisi namanya. Dia salah satu dari sekian ulama yang menanggung penderitaan dalam menuntut ilmu. Suatu ketika dia berkata: “Saya pernah kencing darah 2 kali saat-saat belajar hadits; sekali di Baqdad dan sekali di Mekkah karena saya berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki dibawah terik sinar matahari yang menyengat. Suatu ketika Muhammad bin Thohir Al Maqdisi bercerita tentang perjalanan menuntut ilmunya.

Suatu hari saya tinggal di Tunis bersama Abu Muhammad bin Haddad. Bekal saya semakin menipis hingga yang tersisa hanya “Satu dirham”. Saat itu saya sangat membutuhkan roti untuk mengganjal perut saya. Bersama dengan itu juga saya sangat membutuhkan kertas untuk menulis ilmu. Saya bingung ! saya bingung!

Kalau uang satu dirham ini saya belikan roti maka saya tidak mempunyai kertas untuk menulis ilmu. Jika uang satu dirham ini saya gunakan untuk membeli kertas, maka saya akan kelaparan. Kebingungan ini terus berlanjut hingga 3 hari dan selama itu pula saya tidak merasakan makanan sama sekali.

Perut saya tidak terisi dengan sesuatu apapun selama 3 hari. Pada pagi hari keempat, dalam hati saya berkata: “Kalau saya mempunyai kertas, saya tidak akan bisa menulis karena saya sangat lapar. Maka saya pun memutuskan untuk membeli sepotong roti dan meletakkan satu dirham tersebut di dalam mulut saya untuk bermain-main dengannya saya pun menuju ke penjual roti.

Tanpa terasa saya telah menelan satu dirham tersebut sebelum saya membeli sebuah roti, maka sayapun menertawakan diri saya dan salah satu temanku mendatangiku kemudian berkata : “Apa yang membuat anda tertawa?” Saya menjawab sesuatu yang baik, terus temanku mendesakku untuk menceritakannya tetapi saya terus menolaknya, ia pun terus mendesak saya sehingga saya pun menceritakan kepadanya kisahku ini, maka dia pun mengajak saya kerumahnya dan memberikan saya makanan. (Sumber:Tazkiratul Huffadz/ Imam Adzahabi)


Mutiara Kisah:

  • 1) Mengenal sosok ulama hadist yang bernama Muhammad bin tohir
  • 2) Kesabaran para ulama terdahulu dalam menuntut ilmu
  • 3) Besarnya keutamaan menuntut ilmu agama
  • 4) Ilmu tidak akan didapatkan dengan badan yang santai
  • 5) Bolehnya menceritakan kisah hidup kita kepada orang lain
  • 6) Alloh akan memberi rizki kepada hamba-hambaNya dari arah yang dia tidak menyangkanya


Penulis : Ustadz Abu Imron Sanusi

[source: http://almakassari.com/pemilik-satu-dirham-yang-tertawa.html]

Menyamar Sebagai Pengemis Untuk Mendapatkan Hadits


Menyamar Sebagai Pengemis Untuk Mendapatkan Hadits

Imam Baqi bin Mikhlad nama beliau. Beliau dari negeri yang sangat jauh yaitu Andalusia, sekarang bernama Spanyol. Dengarkan kisah suka dan dukanya dalam mengambil ilmu kepada Imam Ahmad di Baghdad (Irak). Selamat menyimak.

Beliau bercerita: Saya berangkat dengan berjalan kaki dari Andalusia menuju ke Baghdad untuk bertemu dengan Imam Ahmad untuk mengambil hadits dari beliau. Ketika saya mendekati Baghdad saya mendapati informasi tentang ujian yang menimpa Imam Ahmad, saya pun menyadari bahwa Imam Ahmad dilarang untuk mengajar dan mengumpulkan manusia untuk mengajar mereka. Hal ini pun membuat saya sedih berkepanjangan karena saya datang dari negeri yang sangat jauh dengan berjalan kaki tapi Imam Ahmad dilarang untuk mengajar.

Sesampainya saya di Baghdad saya menaruh barang-barang saya di sebuah kamar dan segera mencari tahu keberadaan Imam Ahmad, hingga akhirnya saya mendapatkan kabar tentang keberadaanya. Dengan segera saya ke rumahnya kemudian mengetuk pintu rumah Imam Ahmad dan beliau sendiri yang membukakan pintu kepada saya dan saya pun berkata, “Wahai Abu Abdillah, saya seorang yang jauh rumahnya, seorang pencari hadits dan penulis sunnah, saya tidak datang ke sini kecuali untuk itu.” Beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dari mana anda?” Saya menjawab, “Dari Magrib Al-Aqsha.” Beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dari Afrika?” Saya menjawab, “Lebih jauh dari itu, saya melewati laut dari negeri saya untuk menuju ke Afrika.”


Beliau berkata, “Negara asalmu sangat jauh, tidak ada yang lebih saya senangi melebihi dari pemenuhanku atas keinginanmu dan saya akan ajari apa yang kamu inginkan tetapi saat ini saya sedang difitnah dan dilarang untuk mengajar.” Saya pun berkata kepadanya, “Saya telah mengetahui hal itu wahai Imam, Wahai Abu Abdillah! Saya tidak dikenal orang di daerah sini dan asing di tempat ini. Jika anda mengizinkan, saya akan mendatangi Anda setiap hari dengan memakai pakaian seorang pengemis kemudian berdiri di depan pintu Anda dan meminta shadaqah dan bantuan. Wahai Abu Abdillah masukkanlah saya lewat pintu ini lalu ajarkan kepadaku walaupun hanya satu hadits dalam sehari.”


Beliau berkata: “Saya sanggup tetapi dengan syarat anda jangan datang ke tempat-tempat kajian dan ulama hadits yang lain agar mereka tidak mengenalmu sebagai seorang penuntut ilmu.” Saya menjawab, “Saya terima persyaratan itu.”


Baqi ibnu Mikhlad berkata, “Setiap hari saya mengambil tongkat dan saya pun membalut kepala saya dengan sobekan kain dan memasukkan kertas serta alat tulis saya di dalam kantong baju saya kemudian mulailah saya mendatangi rumah Imam Ahmad dan berdiri di depan rumah beliau dan berkata, “Bersedekahlah kepada seorang yang miskin agar mendapatkan pahala dari Allah. Maka Imam Ahmad pun keluar untuk menemui saya dan memasukkan saya lewat pintunya kemudian mengajariku dua atau tiga hadits bahkan lebih dari itu hingga saya berhasil mengumpulkan hadits dari beliau sebanyak 300 hadits.


Setelah Allah mengangkat kesulitan yang ada pada Imam Ahmad yang mana Khalifah Al-Makmun yang mengajak kepada perbuatan bid’ah telah meninggal dunia dan digantikan oleh Al-Mutawakkil (seorang yang membela sunnah) maka Imam Ahmad menjadi terkenal dan kedudukan beliau menjadi tinggi. Pada saat itu setiap saya mendatangi Imam Ahmad di majelis beliau yang besar dan murid-murid yang begitu banyak, beliau melapangkan tempat khusus untukku dan memerintahkan kepada saya untuk mendekat dengan beliau dan dia berkata kepada murid-muridnya, “Inilah orang yang berhak dinamakan penuntut ilmu.”

[Sumber Siyar alamu Nubala, Imam Adzahabi]


Mutiara Kisah:

  • 1) Mengenal sosok ulama dari Andalusia yang bernama Baqi ibnu Mikhlad
  • 2) Mengenal sosok Imam Ahmad yang teguh mempertahankan kebenaran
  • 3) Kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu
  • 4) Kesabaran para ulama dalam mengambil ilmu walaupun harus menjadi seorang pengemis
  • 5) Allah akan senantiasa membantu hamba-hambanya selama hamba tersebut membantu agama Allah.


Penulis: Ustadz Abu Imron Sanusi

Sumber: Kisah-kisah Keteladanan, Kepahlawanan, Kejujuran, Kesabaran, Menggugah, serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit: Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

Penyamun Jadi Ulama

 
Penyamun Jadi Ulama

Tak ada kata terlambat!!! Itulah nasihat yang harus dipahami oleh seorang yang mau bertobat kepada Allah. Tak ada istilah dan alasan bahwa dirinya telah kotor, bejat dan durjana. Tobat akan menghapuskan segalanya. Bagaimana pun banyaknya dosa dan maksiat dilakukan oleh seorang hamba, jika ia jujur mau bertobat, maka Allah akan bukakan pintu tobat, hapuskan segala kesalahannya yang terdahulu dan memberinya hidayah untuk menapaki jalan-jalan kebaikan.

Sentuhan tobat telah merasuk dalam jiwa orang-orang yang terdahulu sampai menjadikan mereka dari manusia yang paling bejat menuju manusia terbaik di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebagai fakta nyata, kita dengarkan kisah di bawah ini:

Hampir setiap malam dia mendatangi rumah-rumah yang ada di negeri itu untuk melakukan aksinya, yaitu merampok. Hingga suatu malam dia kembali melaksanakan aksinya. Kali ini ia ingin menemui seorang gadis yang selama ini ia rindukan. Di saat ia memanjat dinding untuk menemui gadis impiannya. Pada saat yang bersamaan ketika dia telah berada di rumah itu, tiba-tiba dia mendengar suara lantunan Al Qur’an sedang dibacakan. 
Rupanya suara itu berasal dari sang pemilik rumah yang sedang berdiri bermunajat kepada Robb-nya. Sang pencuri pun hanyut dengan lantunan ayat-ayat Allah yang sedang dilantunkan, hingga ketika sampai pada ayat,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (16)

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)

Tak terasa air matanya berlinang, hingga akhirnya dia pun tersungkur jatuh. Seketika badannya yang selama ini kokoh, menjadi rapuh karena mendengar ayat tadi. Dia pun berkata dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan Allah yang terdapat dalam ayat di atas, “Wahai Rabb-ku, telah tiba saatnya”.

Akhirnya, ia pergi menjauh, lalu ia bermalam pada reruntuhan bangunan. Ternyata di samping bangunan itu ada orang-orang yang mau lewat. Sebagian diantara orang-orang itu berkata, “Ayo kita berangkat”. Sebagian lagi bilang, “Jangan dulu!! Nanti shubuh kita berangkat, karena Fudhoil sekarang akan menghadang kita di jalan!!!”.

Mendengar perbincangan itu Fudhoil akhirnya berpikir dan berkata dalam hatinya, “Aku berbuat maksiat di malam hari, sementara itu kaum muslimin di tempat ini takut kepadaku. Aku memandang Allah tak akan menggiringku kepada mereka, kecuali pasti mereka akan gemetar (karena takut kepadaku). Ya Allah, sungguh kini aku bertobat kepada-Mu dan aku jadikan tobatku berupa hidup di Baitullah”.

Setelah kejadian itu, dia pun melalui hari-harinya dengan ketaatan kepada Allah sampai ia dikenal dengan abidul haromain (عَابِدُ الْحَرَمَيْنِ), artinya “ahli ibadah dua tanah suci (Makkah dan Madinah)”

Maha suci Allah yang telah membolak-balikkan hati, dan menganugerahkan kepada hamba-Nya hati yang lembut. Itulah kisah seorang penyamun (perampok) jahat berubah menjadi seorang ulama’ dan hamba yang sholeh, Al-Imam Al-Fudhoil bin Iyadh sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabiy dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (8/423)

Kisah ini amat ajaib, dimana Allah mengubah hati sekeras batu menjadi hati selembut air. Dia bertobat dengan sejujurnya di hadapan Allah sampai Allah mewariskan kepadanya hati amat lembut dan mudah mengingat Allah.

Ibrahim bin Al-Asy’ats -rahimahullah- berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang Allah dalam dadanya lebih agung dibandingkan Fudhoil. Dahulu apabila ia mengingat Allah atau disebutkan di sisinya, ataukah ia mendengarkan Al-Qur’an, maka akan tampak pada dirinya rasa takut dan sedih, air matanya berlinang dan menangis sampai orang-orang yang hadir merasa kasihan kepadanya.

Dia adalah seorang yang senantiasa bersedih dan kuat pikirannya. Aku tak pernah melihat seseorang yang menginginkan Allah dalam ilmunya, amalnya, pemberian dan pengambilannya, penahanan dan pengorbanannya, kebencian dan cintanya dan seluruh tindak-tanduknya selain Fudhoil.

Dulu kami bila keluar bersamanya mengantar jenazah, maka ia selalu memberikan wejangan, mengingatkan dan menangis. Seakan-akan ia mau meninggalkan para sahabatnya menuju akhirat. (Ia lakukan hal itu) sampai tiba di pekuburan.

Dia pun duduk pada tempatnya di antara mayat-mayat, karena rasa sedih dan tangisnya sampai beliau bangkit, sedang beliau seakan-akan kembali dari alam akhirat untuk mengabarkan tentangnya”.

[Lihat Hilyah Al-Awliyaa' (8/426) karya Abu Nu'aim Al-Ashbahaniy, cet. Darul Kitab Al-Arobiy, dan Tarikh Dimasyqo (48/391) oleh Ibnu Asakir, cet. Darul Fikr, 1419 H dan Tarikh Al-Islam (12/336) oleh Adz-Dzahabiy, Darul Kitab Al-Arobiy 1407 H]

Ibrah dan Renungan

  1. Hati setiap insan dalam genggaman jari-jemari Allah. Dia-lah yang membolak-balikkan hati manusia dari keburukan menuju kebaikan, atau sebaliknya. Karenanya, mintalah petunjuk kepada Allah agar hati kita ditegarkan di atas hidayah dan selalu diarahkan kepada kebaikan serta dihindarkan dari segala keburukan.
  2. Tak ada kata terlambat bagi orang yang mau bertobat, kecuali jika ajal sudah tiba atau matahari sudah terbit dari arah barat.
  3. Tobat yang jujur akan membimbing seseorang kepada kebaikan dan jalan-jalan ketaatan.
  4. Seorang yang mau bertobat dengan benar, tobatnya harus dikuatkan, dibimbing dan didasari dengan ilmu agama. Karenanya, Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- setelah bertobat, maka ia rajin menghadiri majelis-majelis ilmu.
  5. Nasihat ringkas yang berasal dari ayat-ayat suci seringkali meluluhkan hati-hati yang kasar dan keras. Lantaran itu, seorang dai atau muballigh sebaiknya memberikan nasihat dari nash atau kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- serta ucapan hikmah para ulama.
  6. Tak boleh seseorang melakukan vonis terhadap orang lain bahwa ia adalah penduduk neraka. Sebab, boleh jadi ia mendapatkan hidayah untuk bertobat sebelum ia wafat.
  7. Di dalam kisah ini terdapat keterangan bahwa kesholehan seseorang akan menjadi sebab ia terlindungi dari keburukan. Hal ini bisa anda lihat pada penghuni rumah yang akan masuki oleh Fudhoil malam itu. Ia dilindungi oleh Allah, karena berkah sholat tahajjud dan bacaan Al-Qur’annya yang ia lazimi setiap malamnya.

[source: http://pesantren-alihsan.org/penyamun-jadi-ulama.html]

Pemuda Yatim Dan Miskin Mendapatkan Anak Ulama Yang Cantik

 

Pemuda Yatim Dan Miskin Mendapatkan Anak Ulama Yang Cantik

Said Bin Al –Musayyib, Beliau memiliki seorang putri yang sangat cantik, suatu ketika sang khalifah Abdul Malik bin Marwan datang untuk meminang putrinya untuk dinikahkan kepada putranya Al-Walid bin Abdul Malik, namun Said bin Musayyib menolak lamaran tersebut bahkan dia menikahkan putrinya dengan seorang muridnya yang miskin dan yatim yang bernama Katsir bin Abdul Muthallib bin Abi Wada’ah hanya dengan dua atau tiga dirham.

Karena penolakannya ini beliau dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat musim dingin, dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari wol. Dengarkan kisah sang pemuda yang bercerita tentang rizki yang menghampiri dirinya …

Saya adalah seorang yang selalu duduk bermajelis di Mesjid Nabawi untuk menuntut ilmu dan saya selalu duduk dalam halaqohnya Said ibnu Musayyib, suatu waktu saya tidak hadir dalam majelis dalam beberapa hari lamanya, sehingga Said bin Musayyib merasa kehilangan diriku, beliau khawatir kalau saya sakit atau sedang ditimpa sesuatu, beliau pun bertanya kepada orang-orang namun tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang beritaku.

Setelah beberapa hari saya pun kembali hadir dalam majelisnya, diakhir pelajaran, beliau menyapa saya dan mendoakan saya lalu beliau menanyakan : “Kemana saja kamu wahai Abu Wada’ah?”

Saya katakan: ’’Sesungguhnya istri saya meninggal dunia maka saya sibuk untuk mengurusinya’’

Ia menjawab: ’’Mengapa engkau tidak memberitahu kami sehingga kami dapat membantumu?”

Saya katakan: ’’Tidak, semoga Alloh membalas kebaikanmu.’

Maka ketika saya akan beranjak dari tempat duduk, beliau tetap memerintahkan saya untuk duduk ditempat, setelah semuanya beranjak dari tempat duduknya, beliaupun mendekati saya seraya mengatkan: “Wahai Abu Wadaah, apakah belum terpikir olehmu untuk mencari istri baru?”

Saya menjawab: “Semoga Alloh merahmatimu, siapa orang yang mau menikahkan putrinya denganku, saya adalah seorang pemuda yatim lagi miskin, saya tidak memiliki harta kecuali hanya 2 atau 3 dirham saja.

Lalu beliau berkata kepadaku: “Aku yang akan menikahkan putriku denganmu.”

Maka saya pun terperanjat, seakan-akan mulut saya tidak dapat berbicara. Saya berkata: “Anda….? Apakah anda akan menikahkan putri anda denganku padahal engkau telah mengetahui keadaan saya ?”

Beliau menjawab: ”Ya, kami apabila melihat seorang itu baik agamanya dan akhlaknya maka kami akan menikahkannya, dan engkau menurut kami adalah orang yang baik agama dan akhlaknya.

Lalu beliau memanggil beberapa orang yang tidak jauh darinya, setelah mereka datang, lalu beliau memuji Alloh dan bersalawat kepada Nabi-Nya lalu menikahkan saya dengan putrinya dengan mahar uang dua dirham, setelah akad selesai maka saya pun bangkit, saya seperti orang bingung, saya tak dapat mengucapkan kata-kata karena saking gembiranya.

Lalu saya pun pulang kerumah, dan tatkala itu saya masih berpuasa hingga saya merasa lupa dengan puasa saya. Saya terus berkata: “Celaka engkau wahai Abu Wada’ah, apa yang baru saja engkau lakukan…dari mana engkau akan mendapatkan uang… kepada siapa engkau akan berutang….?

Hingga tibalah waktu berbuka. Selepas mengerjakan sholat magrib saya segera menuju meja makan yang hanya terhidang roti dan minyak, baru saja saya memulai satu atau dua kali suapan, tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetuk pintu rumahku, Saya pun bertanya: ”Siapa?”

Lalu dijawab: “Said”

Saya pun terkejut karena telah saya teliti tidak ada seorangpun yang bernama Said yang saya kenal kecuali hanya Said bin Musayyib, hal ini tidak seperti biasanya, karena selama 40 tahun tidaklah beliau terlihat kecuali hanya berada antara rumah atau mesjid saja.

Hingga saya berpikir panjang berangkali beliau berkeinginan untuk membatalkan akad pernikahan yang tadi siang telah beliau ucapkan,

lalu saya katakan: “Wahai Abu Muhammad, mengapa anda tidak mengutus orang saja untuk memberi tahu agar saya yang mendatangi anda?”

Beliau menjawab: “Tidak, bahkan hari ini engkau lebik berhak untuk aku datangi.

Saya katakan: “Kalau begitu silahkan masuk!”

Beliau menjawab: “Tidak, aku hanya ingin menyampaikan suatu perkara.”

Saya katakan: “Semoga Alloh merahmatimu, perkara apa itu?”

Beliau menjawab: “Sesungguhnya putriku sekarang telah sah menjadi istrimu dengan syariat Alloh dan akupun tahu tidak ada seorang pun yang dapat menghibur kesedihanmu, dan aku tidak ingin engkau bermalam sendirian sedang istrimu pun bermalam sendirian, maka aku mengantarkannya untukmu, ”

Lalu aku menoleh, ternyata ia telah berdiri dibelakang beliau, lalu beliau memerintahkan kepada putrinya: “Wahai putriku sekarang masuklah engkau ke rumah suamimu!”

Maka tatkala dia hendak melangkah seakan-akan kain bajunya mengikat kakinya, karena rasa malu , hingga hampir-hampir saja ia terjatuh, sedang saya….saya hanya berdiri tercengang tidak tahu apa yang akan saya katakan, lalu saya langsung mendahului masuk dan menghampiri meja makan lalu saya pindahkan ke tempat yang gelap agar istri baru saya tidak melihatnya.

Kemudian dengan penuh kegembiraan saya naik ke atas loteng saya seraya memanggil para tetangga, “Kemarilah….kemarilah! Sesungguhnya Said telah menikahkanku dengan putrinya di masjid dan sekarang dia telah datang kerumahku maka kemarilah dan temanilah ia, karena aku akan menjemput ibuku didesa sebelah”

Maka datanglah seorang nenek keheranan “Celaka engkau apa yang telah engkau ucapkan, apakah Said telah menikahkan putrinya denganmu lalu memboyongnya datang ke rumahmu….padahal kemarin ia menolak pinangannya Al Walid bin Abdul Malik!” Aku menjawab: “Benar kemarilah dan lihatlah sekarang dia berada di dalam rumahku” Maka beberapa tetanggaku pun datang seakan-akan tidak percaya, kemudian mereka mendoakanku dan mengajak bicara istriku.

Tidak seberapa lama datanglah ibu saya, tatkala ia melihat istri saya yang sangat cantik maka ia memandangi saya seraya berkata: “Aku tidak akan berbicara denganmu sebelum aku membawa istrimu pulang dan tinggal bersamaku beberapa hari setelah itu baru akan aku serahkan kepadamu”’Saya katakan: “Silahkan apa yang ibu kehendaki ?”

Maka setelah berlalu tiga hari, ibu saya pun datang menyerahkan istri saya, ternyata dia adalah seorang wanita yang paling cantik dikota madinah,paling menjaga kitabulloh,paling banyak merwayatkan hadit-hadit Rasululloh dan wanita yang paling banyak mengerti hak-hak suami.

Lalu saya pun tinggal bersamanya beberapa hari, lalu saya pun datang kembali menghadiri majlis bapaknya ( Said bin Musayyib), saya ucapkan salam dan beliau pun menjawabnya dan beliau tidak berbicara setelah itu, tatkala pelajaran telah selesai dan semua manusia telah beranjak pergi kecuali saya dan beliau.

Lalu beliau bertanya: “Bagaimana keadaaan istrimu wahai Abu Wada’ah?”

Saya menjawab: “Sungguh ia adalah sebaik-baik orang yang dicintai oleh teman dan dibenci oleh musuh.”

Lalu beliau berkata: “Al hamdulillah.”

Dan tatkala saya kembali ke rumah, tiba-tiba saya mendapati bahwa beliau telah menyiapkan harta yang sangat banyak untuk mencukupi kebutuhan saya dan istri saya.

( Sumber H.R.Abu Nuaim dalam Hilyatul auliya)

Mutiara kisah :
1. Mengenal seorang Ulama Tabi’in yang bernama Said bin musayyib
2. Sifat ketawadhuan yang dimiliki oleh Said bin Musayyib
3. Mengenal nama murid dari Said ibnul Musayyib yang bernama Katsir abu Wada’ah
4. Alloh akan meninggikan derajat seorang penuntut ilmu
5. Tanda kesholehan seorang hamba adalah pada agamanya bukan pada hartanya
6. Kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya

Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan pasangan yang sholeh untuk anak-anaknya

Sumber :

Kisah-kisah Keteladanan,Kepahlawanan,Kejujuran, Kesabaran, Menggugah ,Serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit : Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

"Lentera" Sebuah Kisah Mimpi Baik Yang Luar Biasa

Lentera" Sebuah Kisah Mimpi Baik Yang Luar Biasa


Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنْ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari 46 bagian nubuwwah (kenabian).” (Riwayat al-Bukhari)

Abu Qataadah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

الرُّؤْيَا مِنْ اللَّهِ وَالْحُلْمُ مِنْ الشَّيْطَانِ
“Mimpi baik dari Allah sedangkan ihtilam (mimpi buruk) datangnya dari syaithan” (Riwayat Muslim)

Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meriwayatkan: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَمْ يَبْقَ مِنْ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Kenabian tidak ada lagi selain al mubasysyiraat,” Para sahabat bertanya, ‘Apa maksud al mubasysyiraat?’ Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab, “Mimpi yang baik.” (Riwayat al-Bukhari)

Seseorang menceritakan:

Ayahku pernah meriwayatkan [cerita kepadaku] tentang seorang pria tua yang bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di salah satu pasar ‘Unayzah, Itu adalah salah satu pasar yang mengarah ke majelis (tempat berkumpul) – tempat terkenal di’ Unayzah.

Selama pertemuan tersebut, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan sebuah lentera kepada orang tua tersebut.

Ketika orang tua [kemudian] bertanya tentang [arti] mimpinya, ia diberitahu bahwa ia akan memiliki seorang anak yang akan [tumbuh] menjadi baik (Shalih) dan ia akan memiliki kedudukan yang tinggi di bidang ilmu ad dien (menjadi ulama)

Maka, seorang anak lahir dari orang tua tersebut, dan ia memberikan nama untuknya Shalih, dengan harapan bahwa mimpinya akan menjadi kenyataan terkhusus untuk anak ini.

Tumbuhlah Shalih menjadi anak yang baik dan shalih, ia mencintai orang-orang, dan mereka mencintainya juga. ia rajin tilawah (membaca) Al-Qur’an, bangun di tengah malam untuk qiyamul lail, namun, ia bukanlah seorang penuntut ilmu.

Shalih kemudian menikah dan memiliki seorang putra, yang ia beri nama Muhammad, Dia adalah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Dan dalam kenyataannya -dan kami menganggapnya demikian- ia adalah lentera yang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah berikan orang tua tersebut [dalam mimpi].

Orang tua itu adalah kakek dari Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah mengampuni dosa-dosanya-.

Diriwayatkan oleh anak lelaki Syaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

fatwa-online

Sepenggal Kisah Perjalanan Syaikh Robi' di Sudan


Sepenggal Kisah Perjalanan Syaikh Robi' di Sudan 

Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali

(Sekarang) akan saya ceritakan perjalanan dakwah saya ke Sudan. Saat itu saya singgah di Port (bandara) Sudan. Saya disambut para pemuda Jama’ah Ansharus Sunnah.

Mereka memberi masukan: “Ya Syaikh, bolehkah kami menyampaikan beberapa saran kepada anda?” “Silahkan!” kataku.

Mereka berkata: “Wahai Syaikh, silakan anda berceramah sesuai kehendak anda dengan (mengutip) firman Allah dan sabda Nabi-Nya, tidak mengapa engkau sebutkan berbagai jenis bid’ah dan kesesatan, baik kaitannya dengan doa kepada selain Allah, menyembelih, nadzar, istighatsah (minta tolong) kepada selain-Nya. Tapi sebaiknya engkau tidak menyinggung thariqah tertentu atau syaikh fulan! Jangan sampai engkau mengatakan bahwa Tijaniyyah atau Bathiniyyah adalah kelompok sempalan yang sesat. Jangan pula engkau mencaci tokoh-tokohnya, (kami rasa) cukup engkau sebutkan perkara-perkara aqidah (secara umum), niscaya akan engkau dapati mereka menerima al haq dari apa yang engkau sampaikan.” Saya katakan kepadanya: “Baiklah.”


Akhirnya saya ikuti anjuran mereka. Ternyata saya menyaksikan sambutan yang cukup besar dari kaum muslimin terhadap dakwah ini. Wahai para penuntut ilmu, kalian jangan menyangka bahwa termasuk dari kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah keharusan mencaci maki (tokoh penyesat). Tidak! Bahkan Allah berfirman:


وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Al An’am: 108)


Kalau kalian mencerca syaikh fulan atau kau katakan: “Fulan sesat!” Atau julukan-julukan lainnya atau kalian katakan: “Thariqah fulan sesat!” justru yang demikian ini hanya akan membuat umat lari menjauh darimu. Akhirnya kalian berdosa lantaran kalian telah menjauhkan manusia dari dakwah yang benar, kalian munaffirun (membuat orang lari).


Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhuma ke Yaman beliau berpesan kepada keduanya:


يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Hendaklah kalian permudah dan jangan mempersulit, gembirakan mereka jangan kalian membuat mereka lari!”


Inilah metode dakwah, di dalamnya ada kemudahan, kabar gembira dan tidak ada hal yang membuat orang lari darinya. Demi Allah, tidaklah aku masuk suatu masjid kecuali aku melihat wajah mereka berseri-seri sehingga aku tidak bisa keluar dari kerumunan massa yang berebut berjabat tangan serta mendoakan kebaikan untukku.


Ternyata para syaithan dari pentolan-pentolan thariqah shufiyyah melihat cara dakwah yang saya tempuh ini sebagai ancaman yang berbahaya. Akhirnya tokoh-tokoh tersebut berkumpul dan berunding untuk merumuskan bantahan-bantahan terhadap ceramah saya.


Mereka memintaku untuk memberi ceramah di sebuah tanah lapang. Saya penuhi permintaanya. Akupun berceramah hingga selesai.


Giliran pembesar mereka bangkit (setelahku) dan mengomentari ucapanku yang tadi. Mulailah orang ini mengutarakan pendapatnya tentang bolehnya beristighatsah kepada selain Allah, bertawassul (membuat perantara) dengan mayit, men-tha’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah dan ucapan bathil lainnya … Mereka kemas semua ucapan bathil dengan takwil-takwil yang menyimpang dan keji.


Usai dia berbicara -namun tidak menyertakan dasar dalilnya, yang ada hanyalah hadits-hadits dhaif dan palsu atau nukilan dari ucapan Socrattes– maka aku katakan kepada hadirin: “Apakah hadirin mendengar ucapanku? Bukankah yang aku katakan adalah semata-mata firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para imam kenamaan? Tapi lihatlah orang ini! Yang ia sebutkan adalah hadits-hadits palsu belaka. Al Qur’an lebih berhak untuk disebutkan. Apakah kalian mendengar firman Allah yang membolehkan istighatsah kepada selain-Nya?! Bolehkah bertawassul (dengan mayit)?! Atau kalian pernah mendengar ucapan para imam terkemuka dalam hal ini semua?! Tidak sama sekali tidak! Kalian hanya mendengar hadits-hadits palsu dan dhaif atau tak lebih dari sekedar omongan segelintir manusia yang sangat masyhur di kalangan kalian sebagai ahli khurafat?!”


Tidak lama kemudian orang tersebut bangkit sambil mencaci maki! Namun aku hanya tersenyum dan sama sekali tidak menanggapi caciannya. Aku hanya mengucapkan: Jazakallahu khairan, barakallahu fiik, barakallahu fiik, jazakallahu khairan! Tidak lebih dari itu.


Bubarlah acara tersebut. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang haq kecuali Dia. Ternyata keesokan harinya banyak orang memperbincangkan kejadian ini, baik di masjid-masjid maupun di pasar-pasar. Mereka katakan bahwa orang-orang Sufi sudah kalah.


Karenanya belajarlah wahai saudaraku, metode dakwah yang benar sesuai dengan syariat, (tanamkan pada diri kita) tujuan kita berdakwah tidak lain agar umat manusia mendapatkan hidayah. Dan berupaya agar al haq sampai kepada hati manusia.


Wahai saudaraku, wajib bagi kalian menggunakan suatu sarana di dalam berdakwah illallah dengan cara syar’i yang tidak menyimpang dari ajaran Islam, bukan berarti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jelasnya, ini adalah ciri-ciri ahlul bid’ah, sehingga mereka gampang melakukan kedustaan, bersilat lidah dan saling mencaci. Demikian yang dikatakan oleh Imam Ali bin Harb Al Mushili tentang ciri-ciri ahlul bid’ah.


Semua pengekor hawa nafsu selalu berdusta dan mereka tidak peduli dengan kedustaan tadi. Dan metode semacam ini (kedustaan) tidak ada pada kita Ahlus Sunnah. Kita adalah orang-orang yang jujur, berpegang dengan kebenaran disamping itu kita senantiasa mencari metode dakwah yang mudah diterima manusia dan menarik simpati mereka.


Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke Kasala, masih wilayah Sudan. Masya Allah, dakwah Ahlus Sunnah mendapatkan kemudahan dan mendapat tanggapan bagus. Kita diberi kesempatan untuk berkhutbah dan kita bersyukur dengan keadaan ini.


Kemudian kita pergi ke kota Ghatharif, sebuah kota kecil di sana. Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi masjid-masjid di kota ini.


Ada sebagian dari Jama’ah Ansharus Sunnah mengatakan: “Ya Syaikh, hanya tinggal satu masjid di kota ini yang belum terjamah dakwah ini, sebab masjid ini adalah basis Thariqah Tijaniyyah lantaran itu kita belum bisa masuk kesana.” “Lho kenapa?”

“Sebab mereka sangat fanatik.”

“Baiklah, kalau demikian kita pergi ke sana. Kita minta izin. Kalau diizinkan untuk bicara, maka kita bicara. Tapi kalau mereka melarang, maka udzur kita di sisi Allah. Dan ingat! Jangan kita memaksakan diri untuk bicara.”


Sampailah kami di masjid mereka. Kita shalat bersama mereka sebagai makmum. Usai shalat, kami ucapkan salam kepada sang imam. Aku berkata, “Bolehkah aku berbicara di hadapan saudara-saudara kami disini?” “Silahkan!” jawab sang imam.


Mulailah aku berceramah, aku ajak mereka untuk mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah dan perkara-perkara lain dari agama. Sesekali aku menyinggung beberapa kesalahan serta berbagai kesesatan yang ada. Di sela-sela itu aku mengutip hadits Aisyah -Muttafaq alaihi- yang berbunyi:


“Ada tiga hal, barangsiapa yang mengatakan tiga perkara ini maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melihat Rabb-nya (di dunia) maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Kedua: Barang siapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui perkara-perkara yang akan datang maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah… -dan saya sebutkan pula berbagai dalil yang mendukung hadits ini- Ketiga: Barangsiapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyampaikan risalah dari Allah secara sempurna maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah.”


Lalu sang imam berkomentar (ia terlihat gusar dan gelisah): “Demi Allah, sesungguhnya Nabi Muhammad telah melihat Allah dengan kedua matanya di dunia.”

Lalu aku hanya bisa menyambut komentar sang imam dengan ucapan: Jazakallahu khairan. (Tentunya kita tahu) Aisyah sebagai istri Rasul lebih tahu keadaan beliau. Kalaulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar melihat Rabb-nya di dunia tentu Aisyah akan mengabarkannya, tapi kenapa ia tidak mengabarkannya?

Lalu ia mendesakku dengan pertanyaan bertubi-tubi. Aku katakan: “Ya akhi, tunggu sebentar, beri kesempatan kepadaku agar aku selesaikan jawabanku satu persatu. Setelah itu silakan engkau lanjutkan dengan pertanyaan lain sekehendakmu. Apa yang aku ketahui akan aku jawab dan apa yang tidak aku ketahui aku katakan kepadamu: Wallahu a’lam.”


Lalu aku abaikan orang itu dan aku teruskan pembicaraanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap bersamaku atau pergi dari majelis, karena akupun sengaja tidak menoleh kepadanya. Terdengar olehku bisikan orang: “Benar juga ucapan orang ini.” Terdengar juga dari selain dia kalimat dengan imbuhan, “Demi Allah, lelaki ini hanya mengucapkan firman Allah dan Rasul-Nya.” Barakallahu fiikum -adzan Isya telah dikumandangkan. Maka berakhirlah acara tersebut lantas hadirin melaksanakan sholat Isya’.


Tiba-tiba mereka mendorongku untuk menjadi imam. Aku katakan: “Sama sekali aku tidak mau menjadi imam.” Malah mereka mengatakan: “Wallahi, shalatlah mengimami kami, wallahi, shalatlah menjadi imam kami.” Aku katakan: “Baiklah kalau begitu.”


Akhirnya aku pun shalat mengimami mereka. Usai shalat aku menunggu sejenak. Kemudian aku pulang bersama para pemuda Ansharus Sunnah.


Aku katakan kepada mereka: “Kemana sang imam pergi?”

Mereka menjawab: “Telah diusir!”

“Lho, siapa yang mengusirnya?” tanyaku lagi.

“Wallahi, jama’ahnya yang mengusir dia!” tandas mereka.


Itulah yang terjadi, wahai saudara-saudaraku! Singkatnya, jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian membodoh-bodohkan pengikut aliran Tijani, boleh jadi mereka akan menebas lehermu, tidak cukup hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan lemah lembut -barakallahu fiikum- maka Allah akan memberi manfaat kepada mereka dengan sebab kedua perangai tersebut.


Hendaknya engkau berbekal dengan ilmu yang bermanfaat, hujjah yang kokoh, senantiasa memprioritaskan hikmah di dalam dakwah kalian. Wajib atas kalian untuk berhias diri dengan akhlak mulia yang telah dianjurkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya itu merupakan wasilah untuk mendapatkan pertolongan dan kesuksesan.


Yakinilah bahwa shahabat tidak menyebarkan Islam ini dengan mudah merasuk ke dalam hati umat manusia kecuali karena peranan hikmah dan keilmuan mereka yang lebih mendominasi ketimbang dengan pedang. Di sisi lain, orang yang mendapat hidayah Islam di bawah naungan pedang, seringnya kurang kokoh. Sementara orang yang mendapat hidayah Islam melalui penyampaian ilmu, hujjah, dan dalil, justru lebih kokoh keislamannya -dengan izin dan taufik Allah.


Maka seyogyanya kalian menempuh jalan ini, sekaligus berupaya dengan sungguh-sungguh mencari ilmu dan berdakwah ke jalan Allah.


[Dinukil dari buku Edisi Indonesia Dakwah Salafiyah Dakwah Penuh Hikmah, Penulis Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali, Penerjemah Al Ustadz Abu Affan Asasuddin, Penerbit Qaulan Karima, hal. 36-45]


Sejarah Hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

 

Sejarah Hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Ahli bid’ah dan ahlul batil senantiasa memiliki kepentingan dan ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama As-Sunnah yang menghadang mereka maka runtuhlah kepentingan dan ambisi tersebut. Sehingga merekapun berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sunnatullah sendiri berlaku pada setiap hamba-Nya, Dia menggilirkan kemenangan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Kadang Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.

Salah satu tanda kekuasaan dan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah memunculkan di tiap seratus tahun, tokoh yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini, di tiap ujung seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)

Di antara para mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.


Nasab dan Kelahiran

Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1

Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau- dilahirkan pada hari Senin, tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali oleh Jenghis Khan tidak hanya menjarah daratan Cina, tapi juga menyerang Timur Tengah bahkan sampai ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).

Allah Subhanahu wa Ta’ala betul-betul menguji umat ini dengan memunculkan bangsa ini. Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul Atsir rahimahullahu mengatakan: “Mereka sujud kepada matahari ketika dia terbit, tidak mengharamkan apapun. Mereka melahap semua binatang termasuk anjing dan babi serta yang lainnya. Tidak mengenal nikah… dan seterusnya.” Tetapi belakangan, banyak dari mereka yang masuk Islam.

Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga berbagai kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas kehancuran akibat serangan Tartar.

Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.

Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai terasa di wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat di malam hari sambil membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak mempunyai kendaraan lain.

Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh. Gerobakpun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan (istighatsah) kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat dan lolos dari kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah mereka di Damaskus.


Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah?

Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’, sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda. Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau berkata: “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.” Akhirnya keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.


Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir, ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat, sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.

Akhlak dan Kepribadiannya

Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tumbuh dalam pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sederhana dalam berpakaian dan makanan.


Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara. Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang dimilikinya.

Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya, Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.


Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar ma’ruf nahi munkar, Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan pula kepada beliau berbagai perilaku yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan dipersaksikan oleh manusia tentang keadaan ini.

Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan dalam Al-Wafi bil Wafayat (2/375): “Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan? Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikitpun.”

Demikianlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ

“Tidaklah pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan bila tidak, beliaupun meninggalkannya.”

Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya, membuktikan bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan keyakinan dan musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit, penghambaan, dan inabah (senantiasa kembali).


Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang: “Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.”


Syaikhul Islam juga pernah menceritakan:

“Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar (memohon ampun) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kurang seribu kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.” Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.


Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan Rabbnya k dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan: “Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”

Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu mengulang-ulang ucapannya: “Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.”

Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan: “Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini dengan keislaman yang baik.”

Beliau selalu mengatakan:

Aku hanyalah pengemis, putra pengemis, demikianlah ayah dan kakekku

Ibnul Qayyim rahimahullahu menukil sebuah ucapan beliau tentang ketakwaan: “Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak yang harus dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan dirinya atas orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela, menuntut, dan tidak pula memukul.”

Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja Nashir: “Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini?” Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh yang hadir ketika itu Syaikhul Islam berkata: “Saya melakukan hal itu? Demi Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya sepeserpun bagi saya.”


Ibnu Katsir rahimahullahu, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan:

Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali ke kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.


Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan Sultan An-Nashir mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.


Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang menggulingkannya serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh Al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr Al-Munbaji, Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih yang loyal kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya kepada mereka. Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut. Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka. Bahkan beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka. Kata beliau kepada Sultan: “Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya Baginda tidak akan menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti mereka. Adapun mereka yang menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya tuntut apapun, ed.), dan saya tidak akan berusaha mencari pembelaan untuk diri saya.”


Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya berhak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sepantasnya seseorang mengikat prinsip ini untuk kepentingan dirinya, tokoh atau kelompoknya semata.


Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul Islam di Mesir dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan orang-orang Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka siap meratakan negeri Mesir dengan tanah. Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka membantah: “Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal?” Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk pribadinya.


Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi Malikiyah, salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul Islam dipenjara: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Sedangkan kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat jelek serta melakukan makar terhadapnya.”


Kehidupan Ilmiah

Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.

Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat sulit lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri dalam ingatannya, baik lafadz maupun maknanya.

Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67 dari majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: “Di antara keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu juga isi kitab itu telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia mengulang-ulang dan menukilnya dalam tulisan-tulisannya secara tekstual atau makna.

Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar tentang beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman, lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah memberi alasan kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya untuk tidak keluar.’ Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman tersebut, dan kembali menjelang sore.

Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa?’


Beliau menjawab:

‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi, ananda sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di tangan beliau. Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah menghafalnya?’ Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab itu kepadaku.’

Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir ‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.”

Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab datang ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat cepat hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut. Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke tempat belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan melihat batu tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan yang ada kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.

Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu memerintahkan beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya tadi. Syaikhul Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang dibacanya dari batu tulis itu. Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu memerintahkan beliau membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.

Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa kalau anak ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang. Karena belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.


Guru dan Murid Beliau

Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang guru ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili, Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan Ibnu Abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang jumlahnya. Murid-murid beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan mujtahid. Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu.


Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu mengatakan:

“Seandainya Syaikh Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan seorang murid yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah –pengarang beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh pendukung dan musuh beliau–, itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti nyata betapa agung kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).”


Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir rahimahullahu, penyusun tafsir yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah di pemakaman Shufiyah.

Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun Tarikh Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu penulis Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil minum zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’ tam) seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kepada Al-Imam Adz-Dzahabi. Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.

Al-Imam Al-Bazzar rahimahullahu menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri rahimahullahu, dia pernah menghadiri majelis Ibnu Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang Yahudi tentang masalah al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait syair. Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak, lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban dalam bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk syair, lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan, diuraikan) tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.

Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan lebih semangat mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Ibnu Taimiyah. Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadapi hadirin dengan wajah yang berseri-seri.


Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits As-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang dipelajari adalah masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.

Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.


Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah Al-Hanbaliyah, menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.

Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan meskipun dalam penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.

Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu, ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama beliau untuk mendapatkan faedah.


Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.


[Sumber: Majalah Asy Syari'ah]

Back To Top