Najasyi (Ashomah bin Abjar) (Sholat Ghaib Pertama)
Beliau bisa dikatakan tabi’in, namun boleh pula dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah saw. berlangsung melalui surat menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi saw. melakukan shalat ghaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.
Dialah Ashamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan An-Najasyi. Marilah pada kesempatan yang barakah ini sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.
Ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah dan tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi tahta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik kita bunuh sang raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki dua belas putra yang membelanya masa hidup dan menjadi pewarisnya jika meninggal.”
Dengan gencar setan membisiki dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh rajahnya dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.
Kini Ashamah diasuh oleh pamannya. Tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan lebih daripada anak-anaknya sendiri.
Namun setan kembali memprovokasi para pembesar Habsyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”
Akhirnya mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa tentram dan aman bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”
Mendengar permintaan tersebut raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya.”
Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.
Tak lama setelah diusirnya Ashamah tiba-tiba terjadi peristiwa yang diluar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa sang raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian dia wafat.
Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra raja, namun ternyata tak ada seorang pun dari mereka yang layak menduduki tahta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, lebih-lebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga telah menunggu kesempatan untuk menyerang. Kemudian ada salah seorang di antara mereka berkata, “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu, jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, maka carilah dia dan pulangkanlah dia.”
Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebaga raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezhaliman dan kejahatan.
Saat bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki tahta di Habasyah, di tempat lain Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad saw. untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu persatu assabiqunal awwalun memeluk agama ini.
Orang-orang quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Makkah sudah merasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin quraisy, Rasulullah saw. bersabda, “Di negeri Habasyah bertahta seorang raja yang tidak suka berlaku zhalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam istananya sampai Allah membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”
Maka berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah sekitar 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.
Akan tetapi pihak quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Makkah.
Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Makkah.
Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah pesatuan kami. Maka nanti jika kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”
Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habasyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya telah kenal dengan Amru bin Ash. Kemudian tokoh quraisy itu membeirkan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka quraisy yang dimpimpin oleh Abu Sufyan.
Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.
Najasyi meoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berakta, “Benar tuanku, kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.” Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan menyerahkan mereka kepada kalian. Tetapi kalau mereka dalam kebenaran, maka aku akan melindungi dan memilihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini karena ulah orang-orang keji.”
Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita jika ditanya tentang agama kita?”
Yang lain menjawab, “Kita katakan saja apa yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan apa-apa yang diajarkan Rasulullah saw. dan Rabb-nya.”
Berangkatlah mereka menuju istana, di sana mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.
Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada raja?” mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah.”
Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memperhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”
Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tetapi Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju terang benderang. Pada awalnya kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zhalim, tidak menyayangi tetangga dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujuran, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, membayar zakat, shiyam pada bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Belialu memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan apa yang beliau bawa.
Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, mengharamkan apa-apa yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan. Tetapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah. Karena mereka berlaku zhalim dan menghalangi kami menjalankan agama, kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim di sini.”
Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi tentang itu tentang Rabb-nya?” beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami.”
Lalu Ja’far membacakan surat Maryam:
“Dan Ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia Mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa”. Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”. Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”. Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu,” (Maryam: 16-24).
Tampaklah Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kita mereka basah oleh tetesan air mata.
Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepda kami dan apa yang dibawa oleh Isa berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangikit dari singgasananya dan pertemuan itu pun dibubarkan.
Maka keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya, “Demi Allah, aku akan menghadap Najasyi lagi esok. Akan aku katakan sesuatu yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia menghabisi mereka.” Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya berusaha mencegah, “Janganlah engkau melakukannya wahai Amru! Bagaimana pun mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham dengan kita.”
Namun amru berkata, “Demi Allah, aku akan katakan bahwa mereka telah menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa hanyalah seorang hamba.”
Sesuai yang direncanakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata, “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan tentang sesuatu tetapi menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah hamba.”
Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw.” Najasyi berkata, “Bagaimana kata-katanya?” Ja’far menjawab, “Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan Kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”
Najasyi berkata, “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa seujung rambutpun.” Terdengar bisikan uskup-uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas, “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan.” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barangsiap berani mengganggu kalian akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorang pun di antara kalian.”
Beliau perintahkan kepada pengawalnya, “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu. Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku, untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”
Negeri Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama rakyat Habasyah digoncangkan oleh dilema besar tersebut. Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.
Melihat hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin, “Naiklah kalian ke kapal itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Tapi kalau aku menang, kalian boleh kambali dalam perlindungan seperti semula.”
Selanjutnya Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Dan aku bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian perangnya dan pergi bersama prajuritnya.
Berdirilah Najasyi menghadapi para penentangnya. Dia berkata, “Wahai rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku kepada kalian?” mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?”
Mereka berkata, “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata, “Bagaimana menurut kalian sendiri?” Mereka menjawab, “Dia adalah putra Allah.”
Maka Najasyi mengeluarkan tulisan yang diapakainya di dada, diletakkan di atas meja dan berkata, “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.
Rasulullah semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam perlindungannya, menggembirakan Nabi saw. apalagi setelah mendengar kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Al-Qur’an. Hubungan Najasyi dengan Rasulullah saw. semakin erat.
Memasuki tahun baru 7 Hijriyah, Rasulullah berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman, dan menasihatkan akan bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat. Terlebih dulu mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah siap, keenam sahabat itu berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.
Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.
Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah saw. kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Al-Qur’an. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat. Setelah itu dia turun dari snggasana dan menyatakan keislamannya di hadapan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad saw. nisacaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian beliau menulis surat jawaban kepada Rasulullah saw. berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas nubuwatnya.
Selanjutnya Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi saw. yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah saw. meminta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.
Sedangkan Ramlah yang biasa dipanggil Ummu Habibahitu, memiliki liku-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak pejalanannya.
Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepecayaan ayahnya sang pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah dan rasul-Nya bersama suaminya Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu pasangan suami istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang quraisy.
Keduanya ikut dalam rombongan muhajirin yang berlindung kepada Njasyi di Habasyah demi mempertahankan Dienullah. Seperti yang telah disampaikan, para muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi, sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan takdir untuknya.
Allah berkendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu menggoncangkan akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.
Di hadapan Ummu Habibah ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang demikian akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya yang masih hidup dalam kemusyrikan. Dan ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.
Akhirnya beliau mengutamakan ridha Allah di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama muhajirin lainnya sampai Allah menunjukkan jalan keluar.
Tak berselang lama beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddahnya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.
Pagi itu amat cerah, saat terdengar ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah saw. telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera siapa yang Anda tunjuk sebagai wali.”
Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berakta kepada utusannya tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah,” kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”
Begitulah, hari itu istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah saw. setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan salam dan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah saw. untuk menikah dengan Ramlah binti Abi Sufyan. Dan saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunnah Rasul-Nya.”
Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah saw dan saya nikahkan Ramlah binti Abi Sufyan yang memberi saya wakalah dengan Rasulullah. Semoga Allah memberkahi rasul dan istrinya.” Selamat atas Ramlah dengan anugerah yang agung tersebut.
Kemudian Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya. Habibah beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habsyi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Rasulullah saw dan shalat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.
Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah saw, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah saw. tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam shalat-sahalt I’ed dan shalat istisqa’. Pada masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal adalah yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya setiap pergantian khalifah.
Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi saw. menerima tetai tidak dipakai sendiri melainkan diberika kepada Umamah, cuci dari putri beliau, Zaenab, “Pakailah ini wahai cucuku.”
Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah saw. memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal Rasul belum pernah shalat ghaib sebelum wafatnya dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya. Sungguh dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah Ta’ala.” Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 348-364.