"Melalui Tulisan, Mengikat Ilmu dan Membangun Pertumbuhan Pribadi."

Pemilik Satu Dirham Yang Tertawa


Muhammad bin Thohir Al Maqdisi namanya. Dia salah satu dari sekian ulama yang menanggung penderitaan dalam menuntut ilmu. Suatu ketika dia berkata: “Saya pernah kencing darah 2 kali saat-saat belajar hadits; sekali di Baqdad dan sekali di Mekkah karena saya berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki dibawah terik sinar matahari yang menyengat. Suatu ketika Muhammad bin Thohir Al Maqdisi bercerita tentang perjalanan menuntut ilmunya.

Suatu hari saya tinggal di Tunis bersama Abu Muhammad bin Haddad. Bekal saya semakin menipis hingga yang tersisa hanya “Satu dirham”. Saat itu saya sangat membutuhkan roti untuk mengganjal perut saya. Bersama dengan itu juga saya sangat membutuhkan kertas untuk menulis ilmu. Saya bingung ! saya bingung!

Kalau uang satu dirham ini saya belikan roti maka saya tidak mempunyai kertas untuk menulis ilmu. Jika uang satu dirham ini saya gunakan untuk membeli kertas, maka saya akan kelaparan. Kebingungan ini terus berlanjut hingga 3 hari dan selama itu pula saya tidak merasakan makanan sama sekali.

Perut saya tidak terisi dengan sesuatu apapun selama 3 hari. Pada pagi hari keempat, dalam hati saya berkata: “Kalau saya mempunyai kertas, saya tidak akan bisa menulis karena saya sangat lapar. Maka saya pun memutuskan untuk membeli sepotong roti dan meletakkan satu dirham tersebut di dalam mulut saya untuk bermain-main dengannya saya pun menuju ke penjual roti.

Tanpa terasa saya telah menelan satu dirham tersebut sebelum saya membeli sebuah roti, maka sayapun menertawakan diri saya dan salah satu temanku mendatangiku kemudian berkata : “Apa yang membuat anda tertawa?” Saya menjawab sesuatu yang baik, terus temanku mendesakku untuk menceritakannya tetapi saya terus menolaknya, ia pun terus mendesak saya sehingga saya pun menceritakan kepadanya kisahku ini, maka dia pun mengajak saya kerumahnya dan memberikan saya makanan. (Sumber:Tazkiratul Huffadz/ Imam Adzahabi)


Mutiara Kisah:

  • 1) Mengenal sosok ulama hadist yang bernama Muhammad bin tohir
  • 2) Kesabaran para ulama terdahulu dalam menuntut ilmu
  • 3) Besarnya keutamaan menuntut ilmu agama
  • 4) Ilmu tidak akan didapatkan dengan badan yang santai
  • 5) Bolehnya menceritakan kisah hidup kita kepada orang lain
  • 6) Alloh akan memberi rizki kepada hamba-hambaNya dari arah yang dia tidak menyangkanya


Penulis : Ustadz Abu Imron Sanusi

[source: http://almakassari.com/pemilik-satu-dirham-yang-tertawa.html]

Menyamar Sebagai Pengemis Untuk Mendapatkan Hadits


Menyamar Sebagai Pengemis Untuk Mendapatkan Hadits

Imam Baqi bin Mikhlad nama beliau. Beliau dari negeri yang sangat jauh yaitu Andalusia, sekarang bernama Spanyol. Dengarkan kisah suka dan dukanya dalam mengambil ilmu kepada Imam Ahmad di Baghdad (Irak). Selamat menyimak.

Beliau bercerita: Saya berangkat dengan berjalan kaki dari Andalusia menuju ke Baghdad untuk bertemu dengan Imam Ahmad untuk mengambil hadits dari beliau. Ketika saya mendekati Baghdad saya mendapati informasi tentang ujian yang menimpa Imam Ahmad, saya pun menyadari bahwa Imam Ahmad dilarang untuk mengajar dan mengumpulkan manusia untuk mengajar mereka. Hal ini pun membuat saya sedih berkepanjangan karena saya datang dari negeri yang sangat jauh dengan berjalan kaki tapi Imam Ahmad dilarang untuk mengajar.

Sesampainya saya di Baghdad saya menaruh barang-barang saya di sebuah kamar dan segera mencari tahu keberadaan Imam Ahmad, hingga akhirnya saya mendapatkan kabar tentang keberadaanya. Dengan segera saya ke rumahnya kemudian mengetuk pintu rumah Imam Ahmad dan beliau sendiri yang membukakan pintu kepada saya dan saya pun berkata, “Wahai Abu Abdillah, saya seorang yang jauh rumahnya, seorang pencari hadits dan penulis sunnah, saya tidak datang ke sini kecuali untuk itu.” Beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dari mana anda?” Saya menjawab, “Dari Magrib Al-Aqsha.” Beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dari Afrika?” Saya menjawab, “Lebih jauh dari itu, saya melewati laut dari negeri saya untuk menuju ke Afrika.”


Beliau berkata, “Negara asalmu sangat jauh, tidak ada yang lebih saya senangi melebihi dari pemenuhanku atas keinginanmu dan saya akan ajari apa yang kamu inginkan tetapi saat ini saya sedang difitnah dan dilarang untuk mengajar.” Saya pun berkata kepadanya, “Saya telah mengetahui hal itu wahai Imam, Wahai Abu Abdillah! Saya tidak dikenal orang di daerah sini dan asing di tempat ini. Jika anda mengizinkan, saya akan mendatangi Anda setiap hari dengan memakai pakaian seorang pengemis kemudian berdiri di depan pintu Anda dan meminta shadaqah dan bantuan. Wahai Abu Abdillah masukkanlah saya lewat pintu ini lalu ajarkan kepadaku walaupun hanya satu hadits dalam sehari.”


Beliau berkata: “Saya sanggup tetapi dengan syarat anda jangan datang ke tempat-tempat kajian dan ulama hadits yang lain agar mereka tidak mengenalmu sebagai seorang penuntut ilmu.” Saya menjawab, “Saya terima persyaratan itu.”


Baqi ibnu Mikhlad berkata, “Setiap hari saya mengambil tongkat dan saya pun membalut kepala saya dengan sobekan kain dan memasukkan kertas serta alat tulis saya di dalam kantong baju saya kemudian mulailah saya mendatangi rumah Imam Ahmad dan berdiri di depan rumah beliau dan berkata, “Bersedekahlah kepada seorang yang miskin agar mendapatkan pahala dari Allah. Maka Imam Ahmad pun keluar untuk menemui saya dan memasukkan saya lewat pintunya kemudian mengajariku dua atau tiga hadits bahkan lebih dari itu hingga saya berhasil mengumpulkan hadits dari beliau sebanyak 300 hadits.


Setelah Allah mengangkat kesulitan yang ada pada Imam Ahmad yang mana Khalifah Al-Makmun yang mengajak kepada perbuatan bid’ah telah meninggal dunia dan digantikan oleh Al-Mutawakkil (seorang yang membela sunnah) maka Imam Ahmad menjadi terkenal dan kedudukan beliau menjadi tinggi. Pada saat itu setiap saya mendatangi Imam Ahmad di majelis beliau yang besar dan murid-murid yang begitu banyak, beliau melapangkan tempat khusus untukku dan memerintahkan kepada saya untuk mendekat dengan beliau dan dia berkata kepada murid-muridnya, “Inilah orang yang berhak dinamakan penuntut ilmu.”

[Sumber Siyar alamu Nubala, Imam Adzahabi]


Mutiara Kisah:

  • 1) Mengenal sosok ulama dari Andalusia yang bernama Baqi ibnu Mikhlad
  • 2) Mengenal sosok Imam Ahmad yang teguh mempertahankan kebenaran
  • 3) Kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu
  • 4) Kesabaran para ulama dalam mengambil ilmu walaupun harus menjadi seorang pengemis
  • 5) Allah akan senantiasa membantu hamba-hambanya selama hamba tersebut membantu agama Allah.


Penulis: Ustadz Abu Imron Sanusi

Sumber: Kisah-kisah Keteladanan, Kepahlawanan, Kejujuran, Kesabaran, Menggugah, serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit: Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

Penyamun Jadi Ulama

 
Penyamun Jadi Ulama

Tak ada kata terlambat!!! Itulah nasihat yang harus dipahami oleh seorang yang mau bertobat kepada Allah. Tak ada istilah dan alasan bahwa dirinya telah kotor, bejat dan durjana. Tobat akan menghapuskan segalanya. Bagaimana pun banyaknya dosa dan maksiat dilakukan oleh seorang hamba, jika ia jujur mau bertobat, maka Allah akan bukakan pintu tobat, hapuskan segala kesalahannya yang terdahulu dan memberinya hidayah untuk menapaki jalan-jalan kebaikan.

Sentuhan tobat telah merasuk dalam jiwa orang-orang yang terdahulu sampai menjadikan mereka dari manusia yang paling bejat menuju manusia terbaik di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebagai fakta nyata, kita dengarkan kisah di bawah ini:

Hampir setiap malam dia mendatangi rumah-rumah yang ada di negeri itu untuk melakukan aksinya, yaitu merampok. Hingga suatu malam dia kembali melaksanakan aksinya. Kali ini ia ingin menemui seorang gadis yang selama ini ia rindukan. Di saat ia memanjat dinding untuk menemui gadis impiannya. Pada saat yang bersamaan ketika dia telah berada di rumah itu, tiba-tiba dia mendengar suara lantunan Al Qur’an sedang dibacakan. 
Rupanya suara itu berasal dari sang pemilik rumah yang sedang berdiri bermunajat kepada Robb-nya. Sang pencuri pun hanyut dengan lantunan ayat-ayat Allah yang sedang dilantunkan, hingga ketika sampai pada ayat,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (16)

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)

Tak terasa air matanya berlinang, hingga akhirnya dia pun tersungkur jatuh. Seketika badannya yang selama ini kokoh, menjadi rapuh karena mendengar ayat tadi. Dia pun berkata dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan Allah yang terdapat dalam ayat di atas, “Wahai Rabb-ku, telah tiba saatnya”.

Akhirnya, ia pergi menjauh, lalu ia bermalam pada reruntuhan bangunan. Ternyata di samping bangunan itu ada orang-orang yang mau lewat. Sebagian diantara orang-orang itu berkata, “Ayo kita berangkat”. Sebagian lagi bilang, “Jangan dulu!! Nanti shubuh kita berangkat, karena Fudhoil sekarang akan menghadang kita di jalan!!!”.

Mendengar perbincangan itu Fudhoil akhirnya berpikir dan berkata dalam hatinya, “Aku berbuat maksiat di malam hari, sementara itu kaum muslimin di tempat ini takut kepadaku. Aku memandang Allah tak akan menggiringku kepada mereka, kecuali pasti mereka akan gemetar (karena takut kepadaku). Ya Allah, sungguh kini aku bertobat kepada-Mu dan aku jadikan tobatku berupa hidup di Baitullah”.

Setelah kejadian itu, dia pun melalui hari-harinya dengan ketaatan kepada Allah sampai ia dikenal dengan abidul haromain (عَابِدُ الْحَرَمَيْنِ), artinya “ahli ibadah dua tanah suci (Makkah dan Madinah)”

Maha suci Allah yang telah membolak-balikkan hati, dan menganugerahkan kepada hamba-Nya hati yang lembut. Itulah kisah seorang penyamun (perampok) jahat berubah menjadi seorang ulama’ dan hamba yang sholeh, Al-Imam Al-Fudhoil bin Iyadh sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabiy dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (8/423)

Kisah ini amat ajaib, dimana Allah mengubah hati sekeras batu menjadi hati selembut air. Dia bertobat dengan sejujurnya di hadapan Allah sampai Allah mewariskan kepadanya hati amat lembut dan mudah mengingat Allah.

Ibrahim bin Al-Asy’ats -rahimahullah- berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang Allah dalam dadanya lebih agung dibandingkan Fudhoil. Dahulu apabila ia mengingat Allah atau disebutkan di sisinya, ataukah ia mendengarkan Al-Qur’an, maka akan tampak pada dirinya rasa takut dan sedih, air matanya berlinang dan menangis sampai orang-orang yang hadir merasa kasihan kepadanya.

Dia adalah seorang yang senantiasa bersedih dan kuat pikirannya. Aku tak pernah melihat seseorang yang menginginkan Allah dalam ilmunya, amalnya, pemberian dan pengambilannya, penahanan dan pengorbanannya, kebencian dan cintanya dan seluruh tindak-tanduknya selain Fudhoil.

Dulu kami bila keluar bersamanya mengantar jenazah, maka ia selalu memberikan wejangan, mengingatkan dan menangis. Seakan-akan ia mau meninggalkan para sahabatnya menuju akhirat. (Ia lakukan hal itu) sampai tiba di pekuburan.

Dia pun duduk pada tempatnya di antara mayat-mayat, karena rasa sedih dan tangisnya sampai beliau bangkit, sedang beliau seakan-akan kembali dari alam akhirat untuk mengabarkan tentangnya”.

[Lihat Hilyah Al-Awliyaa' (8/426) karya Abu Nu'aim Al-Ashbahaniy, cet. Darul Kitab Al-Arobiy, dan Tarikh Dimasyqo (48/391) oleh Ibnu Asakir, cet. Darul Fikr, 1419 H dan Tarikh Al-Islam (12/336) oleh Adz-Dzahabiy, Darul Kitab Al-Arobiy 1407 H]

Ibrah dan Renungan

  1. Hati setiap insan dalam genggaman jari-jemari Allah. Dia-lah yang membolak-balikkan hati manusia dari keburukan menuju kebaikan, atau sebaliknya. Karenanya, mintalah petunjuk kepada Allah agar hati kita ditegarkan di atas hidayah dan selalu diarahkan kepada kebaikan serta dihindarkan dari segala keburukan.
  2. Tak ada kata terlambat bagi orang yang mau bertobat, kecuali jika ajal sudah tiba atau matahari sudah terbit dari arah barat.
  3. Tobat yang jujur akan membimbing seseorang kepada kebaikan dan jalan-jalan ketaatan.
  4. Seorang yang mau bertobat dengan benar, tobatnya harus dikuatkan, dibimbing dan didasari dengan ilmu agama. Karenanya, Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- setelah bertobat, maka ia rajin menghadiri majelis-majelis ilmu.
  5. Nasihat ringkas yang berasal dari ayat-ayat suci seringkali meluluhkan hati-hati yang kasar dan keras. Lantaran itu, seorang dai atau muballigh sebaiknya memberikan nasihat dari nash atau kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- serta ucapan hikmah para ulama.
  6. Tak boleh seseorang melakukan vonis terhadap orang lain bahwa ia adalah penduduk neraka. Sebab, boleh jadi ia mendapatkan hidayah untuk bertobat sebelum ia wafat.
  7. Di dalam kisah ini terdapat keterangan bahwa kesholehan seseorang akan menjadi sebab ia terlindungi dari keburukan. Hal ini bisa anda lihat pada penghuni rumah yang akan masuki oleh Fudhoil malam itu. Ia dilindungi oleh Allah, karena berkah sholat tahajjud dan bacaan Al-Qur’annya yang ia lazimi setiap malamnya.

[source: http://pesantren-alihsan.org/penyamun-jadi-ulama.html]

Pemuda Yatim Dan Miskin Mendapatkan Anak Ulama Yang Cantik

 

Pemuda Yatim Dan Miskin Mendapatkan Anak Ulama Yang Cantik

Said Bin Al –Musayyib, Beliau memiliki seorang putri yang sangat cantik, suatu ketika sang khalifah Abdul Malik bin Marwan datang untuk meminang putrinya untuk dinikahkan kepada putranya Al-Walid bin Abdul Malik, namun Said bin Musayyib menolak lamaran tersebut bahkan dia menikahkan putrinya dengan seorang muridnya yang miskin dan yatim yang bernama Katsir bin Abdul Muthallib bin Abi Wada’ah hanya dengan dua atau tiga dirham.

Karena penolakannya ini beliau dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat musim dingin, dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari wol. Dengarkan kisah sang pemuda yang bercerita tentang rizki yang menghampiri dirinya …

Saya adalah seorang yang selalu duduk bermajelis di Mesjid Nabawi untuk menuntut ilmu dan saya selalu duduk dalam halaqohnya Said ibnu Musayyib, suatu waktu saya tidak hadir dalam majelis dalam beberapa hari lamanya, sehingga Said bin Musayyib merasa kehilangan diriku, beliau khawatir kalau saya sakit atau sedang ditimpa sesuatu, beliau pun bertanya kepada orang-orang namun tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang beritaku.

Setelah beberapa hari saya pun kembali hadir dalam majelisnya, diakhir pelajaran, beliau menyapa saya dan mendoakan saya lalu beliau menanyakan : “Kemana saja kamu wahai Abu Wada’ah?”

Saya katakan: ’’Sesungguhnya istri saya meninggal dunia maka saya sibuk untuk mengurusinya’’

Ia menjawab: ’’Mengapa engkau tidak memberitahu kami sehingga kami dapat membantumu?”

Saya katakan: ’’Tidak, semoga Alloh membalas kebaikanmu.’

Maka ketika saya akan beranjak dari tempat duduk, beliau tetap memerintahkan saya untuk duduk ditempat, setelah semuanya beranjak dari tempat duduknya, beliaupun mendekati saya seraya mengatkan: “Wahai Abu Wadaah, apakah belum terpikir olehmu untuk mencari istri baru?”

Saya menjawab: “Semoga Alloh merahmatimu, siapa orang yang mau menikahkan putrinya denganku, saya adalah seorang pemuda yatim lagi miskin, saya tidak memiliki harta kecuali hanya 2 atau 3 dirham saja.

Lalu beliau berkata kepadaku: “Aku yang akan menikahkan putriku denganmu.”

Maka saya pun terperanjat, seakan-akan mulut saya tidak dapat berbicara. Saya berkata: “Anda….? Apakah anda akan menikahkan putri anda denganku padahal engkau telah mengetahui keadaan saya ?”

Beliau menjawab: ”Ya, kami apabila melihat seorang itu baik agamanya dan akhlaknya maka kami akan menikahkannya, dan engkau menurut kami adalah orang yang baik agama dan akhlaknya.

Lalu beliau memanggil beberapa orang yang tidak jauh darinya, setelah mereka datang, lalu beliau memuji Alloh dan bersalawat kepada Nabi-Nya lalu menikahkan saya dengan putrinya dengan mahar uang dua dirham, setelah akad selesai maka saya pun bangkit, saya seperti orang bingung, saya tak dapat mengucapkan kata-kata karena saking gembiranya.

Lalu saya pun pulang kerumah, dan tatkala itu saya masih berpuasa hingga saya merasa lupa dengan puasa saya. Saya terus berkata: “Celaka engkau wahai Abu Wada’ah, apa yang baru saja engkau lakukan…dari mana engkau akan mendapatkan uang… kepada siapa engkau akan berutang….?

Hingga tibalah waktu berbuka. Selepas mengerjakan sholat magrib saya segera menuju meja makan yang hanya terhidang roti dan minyak, baru saja saya memulai satu atau dua kali suapan, tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetuk pintu rumahku, Saya pun bertanya: ”Siapa?”

Lalu dijawab: “Said”

Saya pun terkejut karena telah saya teliti tidak ada seorangpun yang bernama Said yang saya kenal kecuali hanya Said bin Musayyib, hal ini tidak seperti biasanya, karena selama 40 tahun tidaklah beliau terlihat kecuali hanya berada antara rumah atau mesjid saja.

Hingga saya berpikir panjang berangkali beliau berkeinginan untuk membatalkan akad pernikahan yang tadi siang telah beliau ucapkan,

lalu saya katakan: “Wahai Abu Muhammad, mengapa anda tidak mengutus orang saja untuk memberi tahu agar saya yang mendatangi anda?”

Beliau menjawab: “Tidak, bahkan hari ini engkau lebik berhak untuk aku datangi.

Saya katakan: “Kalau begitu silahkan masuk!”

Beliau menjawab: “Tidak, aku hanya ingin menyampaikan suatu perkara.”

Saya katakan: “Semoga Alloh merahmatimu, perkara apa itu?”

Beliau menjawab: “Sesungguhnya putriku sekarang telah sah menjadi istrimu dengan syariat Alloh dan akupun tahu tidak ada seorang pun yang dapat menghibur kesedihanmu, dan aku tidak ingin engkau bermalam sendirian sedang istrimu pun bermalam sendirian, maka aku mengantarkannya untukmu, ”

Lalu aku menoleh, ternyata ia telah berdiri dibelakang beliau, lalu beliau memerintahkan kepada putrinya: “Wahai putriku sekarang masuklah engkau ke rumah suamimu!”

Maka tatkala dia hendak melangkah seakan-akan kain bajunya mengikat kakinya, karena rasa malu , hingga hampir-hampir saja ia terjatuh, sedang saya….saya hanya berdiri tercengang tidak tahu apa yang akan saya katakan, lalu saya langsung mendahului masuk dan menghampiri meja makan lalu saya pindahkan ke tempat yang gelap agar istri baru saya tidak melihatnya.

Kemudian dengan penuh kegembiraan saya naik ke atas loteng saya seraya memanggil para tetangga, “Kemarilah….kemarilah! Sesungguhnya Said telah menikahkanku dengan putrinya di masjid dan sekarang dia telah datang kerumahku maka kemarilah dan temanilah ia, karena aku akan menjemput ibuku didesa sebelah”

Maka datanglah seorang nenek keheranan “Celaka engkau apa yang telah engkau ucapkan, apakah Said telah menikahkan putrinya denganmu lalu memboyongnya datang ke rumahmu….padahal kemarin ia menolak pinangannya Al Walid bin Abdul Malik!” Aku menjawab: “Benar kemarilah dan lihatlah sekarang dia berada di dalam rumahku” Maka beberapa tetanggaku pun datang seakan-akan tidak percaya, kemudian mereka mendoakanku dan mengajak bicara istriku.

Tidak seberapa lama datanglah ibu saya, tatkala ia melihat istri saya yang sangat cantik maka ia memandangi saya seraya berkata: “Aku tidak akan berbicara denganmu sebelum aku membawa istrimu pulang dan tinggal bersamaku beberapa hari setelah itu baru akan aku serahkan kepadamu”’Saya katakan: “Silahkan apa yang ibu kehendaki ?”

Maka setelah berlalu tiga hari, ibu saya pun datang menyerahkan istri saya, ternyata dia adalah seorang wanita yang paling cantik dikota madinah,paling menjaga kitabulloh,paling banyak merwayatkan hadit-hadit Rasululloh dan wanita yang paling banyak mengerti hak-hak suami.

Lalu saya pun tinggal bersamanya beberapa hari, lalu saya pun datang kembali menghadiri majlis bapaknya ( Said bin Musayyib), saya ucapkan salam dan beliau pun menjawabnya dan beliau tidak berbicara setelah itu, tatkala pelajaran telah selesai dan semua manusia telah beranjak pergi kecuali saya dan beliau.

Lalu beliau bertanya: “Bagaimana keadaaan istrimu wahai Abu Wada’ah?”

Saya menjawab: “Sungguh ia adalah sebaik-baik orang yang dicintai oleh teman dan dibenci oleh musuh.”

Lalu beliau berkata: “Al hamdulillah.”

Dan tatkala saya kembali ke rumah, tiba-tiba saya mendapati bahwa beliau telah menyiapkan harta yang sangat banyak untuk mencukupi kebutuhan saya dan istri saya.

( Sumber H.R.Abu Nuaim dalam Hilyatul auliya)

Mutiara kisah :
1. Mengenal seorang Ulama Tabi’in yang bernama Said bin musayyib
2. Sifat ketawadhuan yang dimiliki oleh Said bin Musayyib
3. Mengenal nama murid dari Said ibnul Musayyib yang bernama Katsir abu Wada’ah
4. Alloh akan meninggikan derajat seorang penuntut ilmu
5. Tanda kesholehan seorang hamba adalah pada agamanya bukan pada hartanya
6. Kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya

Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan pasangan yang sholeh untuk anak-anaknya

Sumber :

Kisah-kisah Keteladanan,Kepahlawanan,Kejujuran, Kesabaran, Menggugah ,Serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit : Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

"Lentera" Sebuah Kisah Mimpi Baik Yang Luar Biasa

Lentera" Sebuah Kisah Mimpi Baik Yang Luar Biasa


Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنْ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari 46 bagian nubuwwah (kenabian).” (Riwayat al-Bukhari)

Abu Qataadah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

الرُّؤْيَا مِنْ اللَّهِ وَالْحُلْمُ مِنْ الشَّيْطَانِ
“Mimpi baik dari Allah sedangkan ihtilam (mimpi buruk) datangnya dari syaithan” (Riwayat Muslim)

Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meriwayatkan: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَمْ يَبْقَ مِنْ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Kenabian tidak ada lagi selain al mubasysyiraat,” Para sahabat bertanya, ‘Apa maksud al mubasysyiraat?’ Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab, “Mimpi yang baik.” (Riwayat al-Bukhari)

Seseorang menceritakan:

Ayahku pernah meriwayatkan [cerita kepadaku] tentang seorang pria tua yang bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di salah satu pasar ‘Unayzah, Itu adalah salah satu pasar yang mengarah ke majelis (tempat berkumpul) – tempat terkenal di’ Unayzah.

Selama pertemuan tersebut, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan sebuah lentera kepada orang tua tersebut.

Ketika orang tua [kemudian] bertanya tentang [arti] mimpinya, ia diberitahu bahwa ia akan memiliki seorang anak yang akan [tumbuh] menjadi baik (Shalih) dan ia akan memiliki kedudukan yang tinggi di bidang ilmu ad dien (menjadi ulama)

Maka, seorang anak lahir dari orang tua tersebut, dan ia memberikan nama untuknya Shalih, dengan harapan bahwa mimpinya akan menjadi kenyataan terkhusus untuk anak ini.

Tumbuhlah Shalih menjadi anak yang baik dan shalih, ia mencintai orang-orang, dan mereka mencintainya juga. ia rajin tilawah (membaca) Al-Qur’an, bangun di tengah malam untuk qiyamul lail, namun, ia bukanlah seorang penuntut ilmu.

Shalih kemudian menikah dan memiliki seorang putra, yang ia beri nama Muhammad, Dia adalah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Dan dalam kenyataannya -dan kami menganggapnya demikian- ia adalah lentera yang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah berikan orang tua tersebut [dalam mimpi].

Orang tua itu adalah kakek dari Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah mengampuni dosa-dosanya-.

Diriwayatkan oleh anak lelaki Syaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

fatwa-online
Back To Top